Senin, 27 Agustus 2007

BAYI - BAYI DI SEPANJANG JALAN PALMERAH


Selamat Siang, Sayangku...

Ibu baru saja tiba di kantor. Hemm...semalam ibu tidak membacakan buku kesukaanmu (kesukaan ibu kalee), Benjamin Rabbit (Ibu anggap kau suka, karena kau segera tertidur jika ibu membacakannya, atau terpesona dengan merdu suara Ibu hehehe). Semalam Ibu sampai di rumah hampir jam 1 pagi. Ada rapat yang membahas anggrek hingga jam 11-an, pulangnya terdampar di Blok M sementara Patas 45 sudah mengakhiri jam terbangnya...

Sesampai di rumah, kamu sudah terlelap dengan posisi miring ke kanan (posisi favoritmu). Kulihat, bulu matamu menempel di pipimu yang gembil dengan bibirmu manyun karena posisi miring. Hehehe..kalau ayahmu di luar kota sana liat, pasti pengin segera pulang.

Melihat bobokmu yang nyenyak, tenang, damai dan hangat mengingatkan Ibu akan kejadian di luar sana...

Suatu pagi, ketika ibu mendapat tugas meliput di salah satu rumah keluarga Cendana, Ibu terjebak dengan kemacetan luar biasa di jalan Palmerah Barat. Itu tuh..jalan raya dekat kantor Kompas. Mobil hanya beringsut sedikit sekali. Pemandangan khas kemacetan bak slide film tragedi negeri miskin yang dulu ditayangkan TVRI hanya terjadi di Ethiopia. Lelaki muda yang terbungkuk, lelaki setengah baya yang jalan dengan penopang kaki, lelaki tua yang terkapar di pinggir jalan, lelaki yang tangannya hanya satu, lelaki gondrong yang meneriakkan tembang ‘Negeri Di Awan’, semuanya menadahkan tangan di pintu mobil yang terjebak.

Itu pemandangan yang begitu biasa di ibu kota ini, Sayangku. Namun pemandangan biasa yang masih selalu menjadikan Ibu tidak terima adalah ketika melihat perempuan dengan anak kecil laki-laki, perempuan tua dengan anak setahunan (gak ketahuan kapan hamilnya), perempuan dengan dua anak yang duduk-duduk, dan yang paling Ibu pengin teriak...PEREMPUAN DENGAN BAYI YANG MASIH MERAH !! Iya, Sayang...maaf Ibu tulis dengan huruf besar semua lantaran begitu emosinya.

Ibu tahu, bayi itu umurnya belum genap 2 bulan, masih dengan popok putih dengan kaki-kakinya yang kecil-kecil dan masih lembut, dengan kepala yang masih lunak, di pinggir jalan dekat terowongan menantang panas dan asap knalpot. Ketika mobil Ibu mendekat, mata bayi itu menatap Ibu....duh. Perlahan air mata ibu menetes (dan sekarang saat Ibu menuliskannya-pun, mata ibu serasa panas). Tiba-tiba Ibu ingin pulang, dan mendekapmu erat-erat, Sayangku....

Di luar sana, banyak sekali teman-temanmu yang tidak bisa bobok siang di tempat yang teduh, tidak bisa didongengin Ibunya, tidak bisa mendengarkan musik, tidak bisa jalan-jalan di kebun bunga. Bayi-bayi itu ibarat biji, yang terbang terbawa angin atau burung, lalu mendarat di tempat yang mereka tidak bisa tentukan. Biji-biji itu mendarat di beton, dimana mereka harus menengadah sepanjang musim untuk menunggu hujan. Bayi-bayi yang tidak beruntung itu berlokasi hanya 500m dari Gedung DPR/MPR yang megah itu. Ah, barangkali Bapak-Bapak di sana tuidak pernah melihat, karena kalau ke gedung DPR tidak lewat jalan raya, apalagi naik Patas 45. Pasti mereka tinggal di ‘Negeri Awan’ lalu langsung turun ke atap gedung melalui jembatan pelangi. Jadi mereka memang tidak pernah bertemu teman-temanmu itu...

Ah, seandainya ada yang bisa Ibu lakukan...selain hanya menceritakan kepadamu. Selamat bermain, Sayangku...Ibu berharap kau merasa menjadi biji yang jatuh di tempat yang menyenangkan untuk berkecambah...

Kamis, 23 Agustus 2007

Menjadi Kontributor National geographic...

Foto : Frankie Handoyo - PAI Jakarta

Diiringi Lady in Black-Gregorian dan kopi yang sudah licin tandas,

Selamat sore, Senja Mungilku...

Pagi tadi pukul 5 kamu sudah teriak-teriak membangunkan ibu. Setelah minum susu, ibu tepuk-tepuk kepalamu yang ditumbuhi rambut sedikit ‘De’ bobok dulu ya, ibu masih ngantuk’ Lucu sekali, kamu langsung meletakkan kepala di bantal dan memejamkan mata. Sukurlah kau mengerti kalau ibumu rada pemalas, sebenarnya bukan pemalas sih..hanya tidak menyukai even bangun pagi hehehe

Hari ini ibu bahagia sekali, saat melihat artikel ibu sudah dimuat di National Geographic Indonesia. Sejumlah 17 halaman dengan gaya khas feature. Rasanya ibu ingin melonjak kegirangan (pas malemnya mau pulang, mau masuk angkot coklat jurusan Bonang – Bojong Nangka, our sweet home, ibu ingin teriak...hey penumpang sekalian, inilah penulis National Geographic pung..pung..) karena tidak terbayangkan..bahkan bermimpipun tidak untuk bisa masuk dalam jajaran kontributor majalah keren itu. Yang dulu ibu hanya bisa terkagum-kagum dengan membeli majalah bekasnya di pasar loak di Yogyakarta saat masih sekolah (waktu itu 1 eksemplar Rp 7.000,- itu artinya harus menghemat uang makan 10 kali).

Penugasan itu sebenarnya sudah lama sekali, tepatnya waktu kau masih di kandungan ibu 6 bulan, sekitar bulan November 2006. Mas Tantyo, editor in chief NG Indonesia mengatakan pada ibu via redpel ibu untuk menulis tentang anggrek Indonesia. Jadilah saat kau semakin membesar di perut ibu, kita berjalan-jalan. Kandungan berusia 7 bulan, menyusuri kawasan Pasuruhan sampai Lawang Jawa Timur untuk mengumpulkan data penganggrek di sana. Kandungan usia 8 bulan, menyusuri kawasan Lembang hingga Ciwidey. Dan tentu saja ayahmu mendampingi ibu dengan setia (waktu itu, untuk pertama kali ayahmu memenangkan kontes kuat-kuatan jalan, biasanya ibu yang menang). Yang paling ibu ingat, waktu menyusuri kawasan Lembang dimana lokasi kebun Pak Ayub yang bergunung-gunung, hujan deras lagi licin, ibu menapak setapak demi setapak karena takut jatuh. Bukan takut ibu luka, tetapi khawatir kalau kamu cedera. Ayahmu memegang tangan ibu begitu eratnya hingga kesemutan. Di balik semua itu, ibu sungguh-sungguh merasakan menjadi ‘wartawan yang sesungguhnya’.

Hari ini, Sayang...setelah hampir 1 tahun, dimana hari ini usiamu tepat 5 bulan di luar kandungan, artikel itu tercetak. Dengan fotografer life style muda yang terkenal, mas Jerry Aurum. Yang bikin haru dan kurasa kelak kau akan bangga (semoga) membaca editorial yang dibikin Mas Tantyo, kurang lebih isinya begini : (majalahnya tertinggal di rumah) :

‘ berinteraksi dengan para penulis memberi kesan tersendiri bagi saya. Salah satunya penulis Titik Kartitiani yang menuliskan anggrek asli Indonesia dengan dua batas waktu : batas waktu penulisan dan batas waktu kelahiran putri pertamanya..” Aha, kau disebut juga, Sayangku.

Begitulah, Sayang..sekelumit saksi perjalanan ibu yang kerap merampok waktu kebersamaan kita. Bukan berarti ibu lebih mementingkan karier daripada mendampingimu..bukan begitu. Semoga kau akan mengerti, bahwa ibu sangat menyayangimu melebihi apapun, dan ibu mewujudkannya dalam bahasa yang lain.

Selamat tidur, Senja Mungilku....