Rabu, 31 Oktober 2007

Selamat Tidur, Kak...


Senin malam, aku mendapat SMS dari adikku kalau kakak sepupuku meninggal dunia. Rasanya tidak percaya..dia ? dia itu yang meninggal ? Sejenak aku terdiam. Ikan mas kremes kesukaanku teronggok di meja hingga dingin. Ya, Allah...benarkah telah kau panggil dia ?

Kata Ibuku, kakakku meninggal karena sakit kanker hati. Katanya, kalau dioperasi butuh biaya sekitar 30 juta. Tentu saja jumlah yang tidak sedikit bagi keluargaku. Itupun belum ada jaminan sembuh. Aku semakin diam mendengar cerita ibuku. Demikian mahal yang namanya 'sehat' Kembali kutanyakan, Tuhan... apakah kehidupan ekuivalen dengan uang ? Yang punya uang saja yang diberi kesempatan untuk hidup ?

Kakakku yang ceria, yang lucu, yang selalu mengatakan 'Wah, kemarin aku melihatmu di Pasar Kebayoran. Aku ga mau negur, karena kamu sama temanmu yang pakai mobil. Gak level lah...aku kasihan kamu malu kalau aku tegur heheheh," Mengingat itu, aku tersenyum pahit. Ternyata hidup sedemikian labil, bisa berubah hanya dalam selesatan cahaya.

Yang lebih membuatku terdiam, ketika ayahku mengatakan, "Setelah rumah sakit menyerah, akhirnya dibawa pulang. Trus aku suruh minum obat tradisional sesuai dengan buku yang kamu tulis itu. Hasilnya lumayan, tapi terus puasa dan jatuh lagi.."

Buku yang kutulis ? Aku mau nangis rasanya. Beberapa kali media tempat aku bekerja mengeluarkan buku tentang tanaman obat alternatif. Karena pekerjaan yang berjibun, terkadang kami menulisnya 'serampangan', asal comot teori demi deadline. Ditambah lagi, terus terang hingga kini aku masih belum bisa percaya jika menulis tentang tanaman obat, sementara belum ada penelitian yang bisa dipercaya. Hanya berdasar pengalaman empirik. Dulu aku kerap menghindari artikel ini, karena aku merasa beban moral. Tetapi karena tuntutan deadline, mau enggak mau aku menulisnya juga...

Ternyata kekhawatiranku benar. Di sini aku menulis demi deadline, asal jadi, sementara di luar sana, ada ribuan pembaca, diantara sekian bahkan menggantungkan nyawanya pada buku yang kami tulis. Sungguh aku merasa sangat berdosa.

Tuhan, semoga kau beri tempat yang indah untuk kakakku. Kau beri kebahagiaan bagi anak dan keluarga yang ditinggalkan. Kini, aku berusaha untuk menulis lebih baik lagi.

Selasa, 23 Oktober 2007

Kupanggil Kau, Langit Pagi

Engkaulah pelita yang menunjukkan tapak mungilku
Engkaulah terang yang mendekapku dalam gelapnya pertanyaan
Engkaulah bahagia yang menyapa ramah membendung kedukaan
Engkaulah getar hati dalam keterasingan yang meninggalkan perih

Andai kau tahu kepekatan semestaku tanpa kehadiranmu
Andai kau tahu bekunya tangan tanpa kata-katamu
Andai kau tahu beribu harap yang bersandar di punggungmu

Menengoklah ke belakang, Sayang
Aku tersungkur di langit barat

Suatu siang....