Kamis, 18 Desember 2008

Dan Maryamah Karpov-pun sudah ada bajakannya...

Tadi siang ketika saya naik angkot dari Slipi ke JCC,ada seorang pedagang asongan yang dagangannya menari bagi saya : setumpuk buku dengan harga @ Rp 20.000,-.Buku yang dijajakan dengan disangga tangan kiri itu antara lain : Kite Runner, A Thousand of Splendid Sun, Ketika Cinta Bertasbih (dll, mulai enggak enak melolotin.. buku-buku itu tumpukannya sampai setinggi dagu)dan yang dijajakan di tangan tanda 'most wanted': Laskar Pelangi dan Marymah Karpov. Waw...saya sempat bengong, kemarin saya beli di Gramedia seharga Rp 71 ribu (ini karena diskon karyawan, dari harga hampir 80-an).Menyesalkah saya ?

Ya, tentu saja itu buku bajakan.

Sebagai ibu rumah tangga yang musti berhitung dengan anggaran ketat, tentunya akan memilih harga yang lebih murah. Setuju ??

Sebagai penumpang angkot yang kategori WNI (yang baik dan belum tentu benar) yang mengamalkan butir - butir Pancasila, tentulah akan membeli dari pedagang asongan yang keringatnya sudah sebutir jagung untuk menjajakan buku itu. Barangkali lebih mulia membeli dari pedagang daripada korporasi (ini mengingatkan saya pada film "You Get A Mail" dengan toko buku raksasa 'EF OuW EX' (FOX).

Sebagai seseorang yang sangat 'napsu' buku, tapi uang cekak (bahkan harus menimbang dengan jatah uang makan) tentu tanpa pikir panjang akan membeli yang murah.

Sebagai seseorang yang mencintai buku dan menyayangi dunia yang mengabarkan tentang banyak hal, menembus batas waktu, batas geografis dan mencoba mengintip dapur sang pengarang yang berdarah - darah mencurahkan energinya untuk menulis sebuah buku dan memimpikan bahwa negeri ini tak gelap lagi...tentunya memilih dengan berat hati untuk tak membelinya.

Bagi saya, pembajakan itu adalah sebuah kejahatan, apapun alasannya.Tetapi untuk menilai ini benar atau salah...sungguh sulit bagi saya. Bagaimana pendapat Anda ketika Chairil Anwar mencuri buku Zarathustra dari toko buku karena tak mampu membeli dan ia ingin membacanya ? Karena cahaya (baca: pengetahuan) itu harus dibungkus oleh nominal yang demikian mahal dan tak tersentuh oleh tangan - tangan mungil kemiskinan.

Note : posting gambar menyusul ya

Kamis, 27 November 2008

Andai Mereka Mengerti


Minggu kemarin saya naik kereta bisnis Senja Utama dari Jogja ke Jakarta. Kegiatan yang rutin saya lakukan semenjak anak saya ikut neneknya gara - gara belum dapat ganti partner yang ngasuh (baik - baik di sana ya, Sayang)

Seperti biasa, tiap kali saya ke Jogja saya menyempatkan memberi koran setempat terutama hari Minggu. Koran yang tidak akan saya temui di Jakarta. Mulai Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Jogja termasuk Kompas saya beli. Tanpa teliti harga, ternyata ada yang harusnya saya hanya bayar 2.500, tetap dihargai 4.000. Sebenarnya bukan karena besar uangnya, tapi kenapa pedagang asongan mesti melakukan itu ? Ya..kalau dia sedikit jujur, pastinya sudah punya lapak..tak perlu naik turun kereta dari gerbong ke gerbong.

Penumpang tak terlalu penuh, walau tiket selalu habis kalau ada yang beli (Sekali lagi saya berdoa, semoga kelak PT KAI ada saingannya sehingga mereka bisa berbenah diri. Katanya anti monopoli jaman VOC, tapi kenapa negeri ini masih melakukannya. Dan setiap saat PT KAI selalu rugi).

Saya baca pertama Kompas. Tetapi belum selesai saya sudah mengantuk. Lalu koran yang setumpuk itu saya lipet rapi, saya letakkan di bawah ransel saya sebagai tanda saya masih ingin membaca koran itu.

Ternyata keinginan saya tak dimengerti oleh penumpang kanan dan kiri tempat saya duduk. Rupanya ketika saya tidur, koran tersebut diambil. begitu saya terjaga di tengah malam, koran - koran tersebut sudah berserakan sebagai alas tidur. Saya benar - benar mau marah. Yang terbayang di benak saya adalah menendang mereka yang tengah tidur lantas mengambil koran itu. Tapi itu tak masuk akal. Mereka akan bilang...hanya koran ?! Pelit amat...

Saya ambil nafas sedalam mungkin untuk menenangkan diri. Ya ...hanya koran. Tapi mengertikah mereka bahwa koran itu berharga bagi saya ? Saya membelinya dengan tidak murah karena memang bukan koran bekas. Dan lagi, koran itu takkan bisa saya beli lagi di Jakarta.Seandainya mereka minta ijin, saya pasti akan ngasih. Siapa sih yang tega kalo orang minta untuk alas tidur ? Walau bagaimanapun...pasti saya akan pisahkan halaman mana yang benar - benar ingin saya simpan...

Lama sekali saya menahan emosi. Lalu saya liatin terus koran yang jadi alas, yang didinjak - injak dengan kaki. Baru setelah sampai Jatinegara, mereka tergeragap bangun. Lalu saya ambil koran itu.
"Maaf Pak, apakah sudah selesai. Saya akan baca lagi," itu kataku. Aneh bin ajaib..mereka tak mengucapkan terima kasih atau boro - boro maaf karena telah mengganggu hak orang lain. Mereka melihat saya sama dengan melihat pemulung koran yang selalu bawa karung di setiap stasiun di Jakarta. Saya jadi meragukan, katanya orang Indonesia ramah...

Tak berapa lama, satu per satu penumpang pun turun. Hanya sampah - sampah mereka yang tak ikut turun. Apakah sebuah pekerjaan berat melipat kembali koran alas tidur mereka ? Hingga kereta nampak bersih kembali ?Kalau mereka hanya bikin sampah..kenapa mesti naik kereta untuk manusia, bukan kereta sampah saja ?

Saya hanya berpikir, Anda mereka sedikit mau peduli dengan orang lain, barang kali mereka sudah mampu naik pesawat. Sehingga tak perlu butuh koran untuk alas tidur karena perjalanan yang panjang.

Rabu, 19 November 2008

Nocturnal, Suatu Malam


Kopi asli, local coffe. Itu kata - kata yang eksotis menurutku. Mengandung kejayaan masa silam, memori, romantisme klasik dan kenikmatan yang unik.

Begitulah, tadi malam setelah menunggu Mbak Christ menyelesaikan deadline Intisari, kamipun meluncur ke Anomali Coffe, di Jl Senopati. Sebenarnya saya sempat ragu, jam sudah menunjukkan angka 20.30, jam berapa sampai sana ? Sementara saya ada keterbatasan waktu (baca: angkot, beginilah nasih angkoters).Tapi sekali lagi, demi tugas ditambah ras penasaran, kamipun meluncur dengan taxi (hemmm)

Tapi segala kekhawatiran itu terlupakan ketika memasuki bangunan eksotik itu. Ada aroma kopi yang tercium dari karung goni. Entah mengapa, saya merasa seperti membelesak ke jaman VOC. Aroma keanggunan. Jujur, saya bukanlah penikmat kopi sejati (menuang cup-nya saja bingung). Bagi saya kopi adalah kebutuhan untuk mengganjal mata kala deadline. Capuccino adalah mantra penjinak kantuk. Selebihnya, saya tidak tahu.

Tapi begitu masuk ke cafe itu, mencium aromanya,seperti saya masuk dalam pusaran keakraban. Mungkin saya berlebihan, tapi itulah yang saya rasakan. Apalagi ketika membaca labelnya : Java Jampit, Papua Wamena, Sumatra Mandailing, Sumatra Lintong, Bali Kintamani, Aceh Gayo (ini nama jenis kopi asli Indonesia). Tiba - tiba saya merasa pulang ke suatu tempat yang indah. Tanah yang kurindu.Mungkin karena akhir-akhir ini saya jarang menemukan indonesia yang dikemas menawan. Dimana - mana justru nama lokasi negeri antah berantah yang mudah kudapati. Sebut saja cluster Frankfurt, Valensia, bla bla. saya lupa, saya ada di mana.

Lalu kopi terhidang. Dan jujur, saya bingung bagaimana menuangnya (kebangeten ya ?)Lalu saya menikmati serbuk Sumatera Mandailing. Sebelumnya saya tak pernah mau dengan kopi yang disajikan di hotel dengan selera 'bule' (karena pahitnya ampun), tapi kali ini seteguk demi seteguk...amazing. Sekali lagi, saya bukan penikmat kopi sejati, tetapi ada keindahan yang datang entah darimana..

Hingga kami memutuskan pulang, pikiranku merasa seringan kapas. Saya tiba - tiba ingat Filosopi Kopi yang ditulis Mbak Dee. Apakah energinya seperti ini ?

Begitulah, cerita inipun berakhir dengan saya pontang panting mencari angkutan untuk pulang sembari menahan mau ke toilet (kopi memang membuat gampang pipis). Saya menumpang angkutan malam hari (Amari) yang isinya mahluk - makluk malam. Nocturnal.

Jalanan Jakarta yang sepi. Saya seperti melihat amuba raksasa yang tengah mengumpulkan energi untuk membelah di siang harinya. Sepi tapi bukan berarti tak ada bunyi. Ada energi yang tertahan. Ada bisik - bisik yang teredam. Ada sesuatu yang terbungkam. Jakarta menjelma jadi makluk purba yang terjebak gletser. Beku tapi mengancam.

Anehnya, makhluk nocturnal ini (termasuk saya kali ya) berbeda dengan makhluk yang saya temui setiap pulang kantor yang larut malam bukan larut pagi. Kalau yang pulang larut malam ini biasanya jam 11 malam, semuanya bermuka seperti asbak rokok yang kepenuhan. Sepeti mau muntah melihat nasib. mereka duduk di bis kota bobrok, lalu duduk sambil tertidur. Coba kalau saya pas tak dapat tempat duduk dan berdiri di dekat supir, menghadap ke belakang, tercipta pemandangan yang tiba - tiba jadi mengerikan. Seperti barisan zombie..what happen with us ?

Catatan untuk Sausan :
Sayang, I miss U so much. Semoga cepet dapat gantinya Mbake yang ngasuh ya...biar kita bisa bernyanyi Bintang Kejora lagi.
Btw, Sayang, ingatkah waktu lebaran kita pontang - panting nyari kantor pos buka ? Tidak sia - sia, Sayang..cerpen ibu berhasil jadi pemenang di Femina. Tidak juara satu sih..tapi lumayan. Nanti kita beli sepeda, terus Ibu boncengin keliling lapangan, menyapa ulat di pohon rambutan. Thanks ya, menemani Ibu...

Kamis, 06 November 2008

Obama...

4 Nopember adalah hari bersejarah bagi dunia.
Bagi Amerika, fenomena baru yang mampu membalikkan fakta. Obama memberikan inspirasi, ketika kita yakin dan gigih berusaha...segalanya mungkin.

Bagi Indonesia, begitu bangganya ketika ada salah satu warganya akhirnya menjadi orang nomor satu di Amerika (baca: dunia?!)Kadang saya berpikir, kala itu Obama pastilah orang biasa yang tak pernah ada dalam obrolan. Mungkin hanya kerabat dekatnya saja yang tahu. Atau kawannya yang selintas lihat karena dia hitam dan miskin (ukuran miskin di Menteng tentu saja beda dengan miskin pada umumnya). Saya membayangkan, mungkin kala itu masih banyak yang bisa dilihat dari hanya sekedar Obama. Toh dalam bukunya, Obama juga menuliskan bagaimna ketidakadilan dan kesemena-menaan yang dia terima karena ia kulit hitam di Indonesia.Tentu saja, kala itu (hingga kini), Indonesia tak peduli akan potensi seseorang.

Dari Obama semoga bisa belajar, ada banyak mutiara ini terpendam di Indonesia. Walaupun mutiara akan senantiasa putih berkilau walau di comberan. Tetapi siapa yang mengerti keindahan mutiara jika yang melihat hanya nyamuk dan kecoak ? Nyamuk dan kecoak pastilah lebih tertarik dengan darah segar dan remah keju daripada keindahan mutiara.

Congrats Obama !
Selamat juga untuk Kofifah ! (hayo, pasti lupa kalau kita punya pemilu juga)

Semarang, suatu siang

Jumat, 31 Oktober 2008

Seroja dari tanah dewa

Bisik angin di kejauhan
Menerbangkan rambut kuningmu bersama misteri pasir
Kau kirimkan biru matamu untuk menemaniku
Di sebuah pulau asing yang menjadi surga bagimu

Sekuntum seroja jatuh di tanahku dan kau berdiri
Tegap tubuhmu membungkuk laksana ksatria berkuda putih
Sejenak kau timang bunga yang sudah puluhan tahun kukenal
Dari jemari porselenmu, serojapun terbaring di telapakku

"Mahkotanya ada 10 helai.
Apakah kau sempat menghitungnya ?
Susunannya menyebar seperti spektra cahaya
Apakah kau bisa merasakan keindahannya ?
Dia hanya ada di tanah ini, tidak di belahan bumi manapun
Tidak juga di tempat matahari tenggelam dimana aku berasal
Kau tahu itu ?"

Seroja di tanganku,
Tiba - tiba berkilau bagai sejuta kristal Swarozki
Harum melebihi parfum Perancis
Lumer mengalahkan kelembutan Haagen Dazs
Benarkah ini seroja yang kemarin ?

Aku yang memujamu
Aku yang ingin menjadi dirimu
Aku yang silau oleh segala yang ada padamu
Hingga lupa pada diriku, tanahku
Bagimu, aku adalah permata Asia yang akan selalu berkilau
Jika aku tetap menjadi aku

Sanur, 21 Oktober 2008

Minggu, 26 Oktober 2008

Dari PakThorsten,Saya Belajar tentang Indonesia...





Setiap tempat yang saya singgahi, pada momen yang tak diduga, saya menemukan sebuah nilai hidup. Kalau dalam istilah pewayangan semacam Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyyu. Secara sederhana diartikan sebagai ilmu untuk mencapai makrifat alias kesempurnaan hidup. (Berat deh...)

Minggu lalu saya berkesempatan mengunjungi Bali, The Paradise Island. Pulau yang lebih terkenal di ranah internasional ketimbang Indonesia. Bali yang dalam benak saya, akan dapat melihat dan memotret segala ritus kebudayaan yang terkenal itu. Imagi itu akan terlaksana tatkala kita datang sebagai turis atau pejalan. Sayang, saya datang dalam rangka bekerja dan dapat dikategorikan kerja keras.

Begitulah, saya menjadi sekerup yang teramat kecil dalam kegiatan pemeriah perhelatan besar yang dinamai 1st Asia Beach Games. Bukan sebagai peliput namun sebagai panitia. Sebuah sebutan mentereng namun sangat ‘merusak’ keindahan Bali bagi saya. Begitulah, tatkala turis dari segala bangsa berduyun – duyun berwisata, saya dan juga teman sejawat dari Jakarta mengurusi kedatangan tamu luar negeri, tamu negara hingga berpikir keras menemukan solusi bagaimana WC mampet bisa bekerja lagi.

Baru pada hari ketiga, saya bisa melihat sekeliling. Itupun masih dalam lingkup tugas. Saya bertemu dengan seorang desainer lanskap asal Jerman, namanya Thorsten d’Heureuse. Saya memanggilnya Pak Thorsten, entahlah...sampai sekarang saya masih bersikap sebagaimana ibu saya mengajarkan sopan santun ala Klaten. Bahwa menyebut langsung nama pada orang yang lebih tua itu kategori kurang ajar.
Sebagaimana layaknya ekspatriat (paling tidak yang pernah saya temui), cara kerjanya begitu sistematis. Segala dipersiapkan dengan profesional dan meyakinkan. Walaupun banyak desainer lanskap Indonesia yang karyanya tak kalah dari Thorsten, bahkan ada yang lebih bagus, hanya saja mereka belum bisa mengemas hingga menjadi format bisnis yang dipercaya internasional. Saya penah menemui desainer lanskap Indonesia dimana ia mengerjakan taman senilai 1 M, dan tamannya eksotik luar biasa, sketsanya dibikin di atas kadus makanan. Perihal kemasan, banyak lahan dimana Indonesia belum bisa melihat potensi packing yang menawan. Coba pikir, sejauh mana kekayaan Singapore Botanical Garden dibanding dengan kekayaan Kebun Raya Bogor ?

Sebagaimana yang saya duga, karya Thorsten akan kental sekali dengan nuansa tropis yang dibanggakan orang barat tetapi tidak dibanggakan orang Indonesia sendiri, jantung hutan tropis. Saya tak menyalahkan, sudah menjadi minat psikologis dimana orang akan tertarik rumput hijau di negeri tetangga. 'Indonesiawan' ini akan begitu bangga tatkala punya desain lansekap Mediterania, Japanese Garden atau American Garden dimana mereka repot mendatangkan tanaman impor. Prestis dan bermartabat.

Hanya saja komentar Thorsten yang membuat saya merenung,” Bukan, itu bukan psikologi manusia. Itu adalah keegoan manusia yang mau melawan Tuhan. Kamu pikir, apakah manusia lebih pinter dari Tuhan untuk menata alam ini ?

Tuhan telah membuat bentang alam dengan komponen yang harmonis. Secara mudah, datanglah ke pinggiran sungai. Perhatikan jenis dan bagaimana pohon, semak, perdu yang tumbuh di sana. Itu adalah penataan paling jenius. Jika kamu ingin membuat taman, contohlah seperti itu. Jangan memaksakan tanaman yang berbeda ekologinya tumbuh di halaman rumahmu. High maintanance. Disamping itu, akan menimbulkan bencana lingkungan yang tak terduga. Di China, tanaman introduksi macam Sphatodea campanulata menjadi tumbuhan penggagu yang susah dibasmi.

Apalagi, untuk membuat taman, membangun perumahan, harus menebang pohon yang lebih dulu ada sebelum lanskapernya ada. Kenapa ? Kamu bisa bayangkan berapa waktu yang diperlukan tumbuhan itu untuk tumbuh ? Belum lagi kalau diganti dengan tanaman impor, biaya tinggi. Itu perlu disadari. Kenapa kita tidak mensyukuri yang kita punya. Indonesia punya yang negaraku (baca: Jerman) tak punya. Kenapa itu tidak dihargai ? Puluhan ribu spesies tanaman, berapa persen yang beredar di pasaran sebagai komoditi ? Lalu bandingkan dengan tanaman impor yang justru lebih banyak.” Di tengah nada bicaranya yang tenang, bersemangat, berbahasa Indonesia dengan lancar, baik dan benar (sesuai dengan EYD)diiringi dengan musik rock aliran keras (ini yang membuatnya tampil muda, energik dan style ala McJagger), akupun terdiam. Mengapa ?
“Kalian tak boleh putus asa. Indonesia harus bangkit. Saya yakin, Indonesia adalah negara besar dan akan menjadi tetap besar,” begitulah kata - kata yang aku ingat.

Thorsten adalah satu dari ribuan ekspatriat yang tersedot magnet keindahan Indonesia. Yang menurut sebagian dari kita yang 'idealis dan nasionalis' tak menyukai keberadaan mereka. 'Merebut ladang lokal' Sementara kita yang berpusar di pusat medan magnetnya tak menyadari, bahwa di luar sana daya tarik kita begitu kuat.

Perjalanan pulang ke hotel, saya kembali ke jalan yang tadi saya lalui bersama Thorsten. Tiba - tiba saya merasakan pohon, jalan, bangunan dan hal - hal yang saya lewati menjadi lebih berarti. Haruskah untuk menyadari hal berharga yang kita miliki harus meminjam kaca mata orang lain ? Lebih parah lagi, kita baru menyadari bahwa kita punya banyak tatkala banyak hal itu sudah tak lagi jadi milik kita.

Catatan Untuk Sausan : Sayang, senja di Kuta terasa sunyi tanpa kehadiran pipi tembem u. Really, I miss u, my little sunset. Baik - baik yah sama nenek.

Kamis, 25 September 2008

Mamma Mia...'sinting' di masa tua !





Kemarin sore, saya melakukan tindakan yang tak masuk akal. Tetapi untunglah akhirnya justru menyehatkan akal.

Mbak Fanny Poyk tiba2 ngajak ketemuan, katanya ada temennya yang mau nraktir nonton ABBA. Saya tegaskan sekali lagi, bener ga saya juga dibayarin ? Bener. Kan tiket konser artis bule gitu mahal. Enggak kok, cuman 30 ribu. Yakin ? Jangan - jangan kita nonton di bawah drum. Enggak, bener...nonton di Megaplex. walah, itu mah pilem, bukan nonton ABBA. Iya..ABBA dalam film hehehe

Begitulah, pukul 15.00 saya sempat ragu. Berangkat enggak ya tatkala menimbang pekerjaan yang bejibun tiada tara (Aduh...mau libur nasional seminggu aja bayarannya mahal bener)Akhirnya, menimbang kepala yang sudah berat dan butuh ketawa ngakak..saya pun berangkat dan berniat balik lagi ke kantor untuk menyeleseikan tulisan. (Saya sedang mengedit tulisan untuk acara di Bali dan duh...terkadang daripada mengedit mending menulis sendiri).

Begitulah, akhirnya saya tunggu Mbak Fanny di TKP yang dimaksud. Sebuah lokasi yang menurut saya begitu mewahnya. Dan saya selalu merasa berdosa, tak nyaman, dan pengin secepatnya kabur dengan lokasi seperti ini (dasar berpribadi miskin hehehe). Saya duduk di pojok, sembari melihat orang lalu lalang. Mbak - mbak cantik2, bajunya minim - minim (oh, khusus untuk hal ini di sini sangat efisien, sehingga tak perlu merasa berdosa dengan kere yang tak mampu beli baju). Lalu banyak wartawan (ya saya mengenali mereka dari atribut dan pembicaraan : seputar deadline. Aduh..kepalaku jadi berat). Banyak wartawan itu menandakan mau ada premier film (ternyata Laskar Pelangi).

Mbak Fanny datang. Temannya Mbak Fanny, namanya Bu Sasi pun menepati janjinya untuk membelikan tiket. Ya benar, 30 ribu ! Tapi mak...yang membuat saya sesek (dan ga rela), untuk bekal berbuka pas nonton film (karena pas maghrib pastilah film sedang diputar, maafkan saya ya Allah, sedikit tak bertaqwa), saya beli sebotol air mineral . Dengan kalem, Mbak kasirnya menyebut angka Rp 13.350,- Byuh. Serasa nyesek. Coba tadi beli di kaki lima, maksimal Rp 2.000,- Kalau di sini Rp 5.000,- gitu masih maklum, lha ini 6 x lipat. Kejem !! Mau saya kembalikan, tapi kok takut..bukan takut dituduh miskin, tapi takut dipelototin Mbak kasir.

Mbak Fanny senyam senyum Pun ketika seorang sales kartu kredit menawarkan jasanya, dengan elegan Mbak Fanny menolak. begini kalimatnya :
"Wah, saya tidak mau lagi ikut yang begituan "
"Lah ini kan menguntungkan bla..bla..bla (yang ditawari hanya Mbka Fanny, bagaimanapun dia masih nampak kaya daripada aku hahaha)
"Maaf Mas, saya gak punya tabungan sama sekali. Saya kan pengangguran (dengan menepuk dada, tanpa beban justru malah bangga). Nanti kalo ikut, ga bisa bayar, dikejar kejar tuh sama depcolector yang badannya gede (sembari mengangkat kedua tangan posisi Ade Rai)" Salespun pergi tanpa basa basi.

Film pun diputar. Yang menonton sedikit. Kami telat 10 menit.
Waw...itu film kereeeeen, sinting, menghibur. Saya takkan menceritakan detail. Yang jelas pemainnya semua emak2, Merly Streep (bener ga ya nulisnya) yang aku ingat main di Adaptation. Terus si bapak ganteng Piere Brosnan (ga tau ini tulisan bener ga). Mereka begitu energik, sinting cerdas dan...jadi mamma (emak, simbok, ibu) tetap bisa bahagia, muda dan menyenangkan.

Bagi sesama kawan yang memang tak bisa menjadi ibu yang lembut nan halus sebagaimana di sinetron dan uang lima rupiahan (tempo dulum, si ibu berkebaya)Tetap bisa menjadi ibu yang baik (plus harus menonton Mamma Mia..bukan promisi, tapi ini menginspirasi). Jadilah teman bermain dan berjalan - jalan (mendaki gunung ..), jadilah sahabat tempat curhat...bagi anak - anak kita. Kami pun tertawa, beban masing - masing seringan kapas.

Thanks ya Bu Sasi, Mbak Fanny...for exicting moment !Sausan, senja mungilku..terkadang ibu merasa cepat tua begitu melihat kamu semakin tumbuh. Tapi film itu menginspirasi ibu untuk tetap menjadi temanmu, kapanpun. Dari kini kita menyanyikan 'Gembira Berkumpul-nya Tasya' sembari jingkrak jingkrak di atas kasur, atau main lempar-lemparan tepung kue (kue kosong dan berbau sangit, toh kue enak bisa beli di toko..kebahagiaan itu ga bisa dibeli)sampai nanti kamu dewasa dan butuh sahabat untuk curhat. Just say..SOS !!

Catatan untuk Sausan : Aduh, Sayang..Mbake dah mudik neh, ibu jadi pontang panting. Jadi sebaiknya kamu tak usah protes kalo bubur bikinan ibu tak seenak Mbake sebab buru2 bikinnya. Yang penting bergizi dan penuh sayang, itu pasti !Kalau mau ngompolin Ayah..yang basah sekalian semuanya, jangan tanggung - tanggung yah!

Kamis, 18 September 2008

Dulu Kau Ada


Dulu kau ada,
Menyaksikan langit yang berlahan gelap
Kabut berat turun menjadi mendung
Tanah gelap tapi hatiku terang

Dulu kau ada,
Ketika tampias gerimis membasahi sweater merah jambu
Kau hapus lembut dengan T shirt yang kau kenakan
Hangat berlahan menjalar
Dalam gigil aku dan kau

Dulu kau ada,
Untuk selalu mengatakan jalan tak jauh lagi
Kau genggam erat jemari
Kakiku pun lebih berdaya melawan luka

Dulu kau ada,
Untuk meyakinkan aku
Bahwa aku yang terbaik bagimu
Kau memang yang terindah untukku

Kau adakah, kini ?

Mendung di Telaga Warna,
Rain Lalu

Selasa, 09 September 2008

Tatkala Mbok Sri Bertemu Super Toy


"Kanggo Mbok Sri, iki sekul pethak gondo arum, pisang ayu, jongkong inthil.Kanggo Ki Dadung Awuk, saiki Mbok Sri wis ngancik dewasa, keparenga takboyong.."
(Untuk Mbok Sri, ini nasi putih nan wangi, pisang mulus, jongkong inthil (makanan tradisonal dari ketan). Untuk Ki Dadung Awuk, sekarang Mbok Sri sudah dewasa, ijinkan saya bawa pulang..)

Dengan kemenyan mengepul, mata terpejam dengan khusuk, seorang nenek tertatih menyusuri pematang sawah. Urat rentanya seakan mendapat energi lebih dari padi keemasan yang sebentar lagi dituai.

Barangkali Anda yang tinggal di kota tak mengenal adegan di atas, upacara wiwit yang dilakukan sebelum panen. Dulu waktu saya kecil, saya begitu semangat membantu (tepatnya ngrecokin) nenek saya (RIP)dengan upacara wiwit. Saya senang sekali waktu itu karena bisa makan nasi dibungkus daun pisang di tengah sawah, tanpa cuci tangan, bersama teman2 di desa yang 'klumut' (lusuh). Keharuman nasi itu masih teringat hingga sekarang..

Masyarakat Jawa Tengah, termasuk nenek saya sangat menghormati Mbok Sri (Dewi Sri) sang dewi padi. Mereka memperlakukan malai badi laksana rambut sang dewi sehingga disediakan cermin, sisir dan minyk rambut. Tak hanya sebatas 'kesintingan' yang tak masuk akal, tetapi kesabaran menunggu hasil panen. Padi jaman dulu (sebelum dikenalkan dengan IR)panennya hanya dua kali setahun. Oleh karena itu beras adalah barang mewah. Namun bukan berarti mereka lapar. Ada singkong dan jagung (yang juga varietas tradisional) yang bisa dimakan. Kala itu, mereka tak merasa miskin karena hanya makan singkong.

Lalu padi menjadi makanan yang wajib dikonsumsi. Makan singkong identik dengan kampungan (baca : terbelakang) dengan sebutan Anak Singkong. Makan jagung disebut sebagai kekurangan makan. Lalu Mbok Sri-pun 'dipaksa' secepatnya untuk segera dewasa. Mbok Sri yang cepat dewasa itu akan menghasilkan banyak beras dalam waktu singkat. Harusnya masyarakat tak lagi lapar.

Namun sayang, Mbok Sri jual mahal,tak lagi kenal dengan nenek saya dan juga orang2 dusun lainnya. Ia pindah ke menara gading. Tak semua bisa mengakses beras. Ketika singkong dan jagung dianggap makanan rendahan, masyarakat justru makan nasi aking. Saya kira itu dulu hanya dimakan oleh bebek. Padahal bebek kalau tidak digembala di sawah, akan mandul ga keluar telur kalau hanya makan nasi aking.

Di tengah kelaparan itu,banyak pihak mengajari masyarakat untuk mimpi dan budaya instan. Indikasinya, sinetron lampu ajaib dengan jin yang bisa mewujudkan segala keinginan laris manis. Ikut bisnis mudah hasilnya jutaan rupiah. Segalanya mau cepat, siap saji, tak perlu susah.

Begitulah Super Toy menjadi mudah diterima. Karena padi Super Toy mewakili sesuatu yang cepat dan siap saji. Masyarakat sudah terlanjur hidup dalam mimpi. Pemerintah tak mengajari untuk hidup nyata dan lebih cerdas.

Jika Nenek saya masih ada, saya yakin dia akan selalu setia untuk permisi dulu dengan upacara wiwit ketika akan memboyong Mbok Sri ke rumahnya. Mbok Sri pun tersenyum, dan takkan menjauh dari nenek saya, para petani itu...

Selasa, 26 Agustus 2008

Surat Buat Simbok di Desa


Foto : Tungku-nya Simbok

Mbok, apa kabar ?
Saya di sini baik - baik saja, tidak kurang suatu apa, kecuali kurang uang - kekurangan yang sudah bukan lagi menjadi kekurangan bagi saya dan keluarga. Lha wong sudah terbiasa tidak punya uang. Tetapi bukan berarti susah, sungguh Mbok. Segala masalah menjadi enteng ketika melihat cucumu ini sudah menik - menik dan tipluk - tipluk.

Kemarin Genduk mencret - mencret, tapi sudah dibawa ke Puskemas. Biasa, dikasih pil warna - warni, terus sembuh. Entah karena penyakitnya sudah bosen menggerogoti tubuh yang makanannya yang enak, atau memang pil Pak Mantri yang dari saya kecil hingga kini, sudah lintas kota antar propinsi juga masih sama warnanya.

Perihal warna, yang bertambah warna - warni bukan obat pil di Puskemas tetapi warna warni bendera partai. Di Jakarta, Mbok...sepanjang jalan warna - warni bendera itu berkibar dengan meriahnya. Seperti kalau di desa kita mau ada pertandingan antar RT. Apakah Simbok sudah dikasih tahu Pak Bayan, kalau partainya sudah tidak lagi hanya hijau, kuning dan merah seperti lampu stopan (Baca: traffic light) ?

Saya masih ingat kata Pak Sukam, guru PMP (Pendidikan Moral Pancasila)SD, bahwa di Indonesia ini hanya ada 3 partai karena untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Kalau hanya dua, bisa berantem. jadi harus ada penengahnya, yaitu partai ke 3. Sementara kalau kebanyakan seperti pemilu jaman tahun 66, persatuan akan terpecah belah.
Kini saya yang lulus SD saja tidak tahu, apalagi Simbok..apakah persatuan dan kesatuan masih diperlukan untuk melengkapi sila - sila Pancasila.

Halah Mbok, saya juga ndak tahu..apakah Pancasila tidak pada dicuri orang..wong barang - barang pada naik begini. Elpiji di tipi naik yang tadinya 63 ribu rupiah menjadi 69 ribu rupiah. Kalau di tokonya Encik dari 68 ribu rupiah menjadi 75 ribu rupiah. Kalau ditanya kok tidak sama dengan di tipi, Encik malah menyuruh beli di tipi saja.

O ya, Mbok..saya belum cerita ke Simbok ya kalau sekarang saya sudah tidak menggunakan kompor minyak yang dulu bawa dari desa waktu pindahan ke Jakarta. Beberapa waktu pemerintah menginstruksikan untuk mengganti minyak tanah ke elpiji atau gas. Begitulah, minyak tanah langka, kalau ada pun mahal.

Juragan punya kompor gas besar dan tabungnya yang sudah tidak dipakai. Makanya saya lungsur dengan nyicil. Nah, semenjak menggunakan gas, kasur tempat tidur tidak lagi kena langes (baca : jelaga) sebagaimana dulu waktu masih pakai kompor minyak. Kadang bantal juga kecipratan minyak tanah atau sumbu kompor. Hanya masalah sekarang menjadi mahal.

Saya jadi rindu di desa, Mbok. Masak tidak usah repot nyari bahan bakar. Cukup pakai sabut kelapa atau blarak (daun pisang kering). Apalagi listrik di Jakarta sering byar pet. Kalau di desa tidak pernah jadi masalah. Listrik mati ya paling tidak bisa melihat sinetron Kanza. Air masih ngalir wong nimba, nyetrika juga bisa pake arang, lampu tak masalah bisa pake minyak klentik bikinan sendiri.
Mbok, dengan kondisi ini, bukannya saya pelit..lebih baik Simbok tetap tinggal di desa saja, ngurusi sawah. Walaupun bukan punya kita, tapi Pak Bei kan sudah memasrahkan seumur hidup Simbok.

Kalau Simbok ke kota, siapa yang akan menanam padi ? Siapa yang akan menghasilkan pangan untuk penduduk Indonesia, termasuk penduduk Jakarta. Siapa lagi yang akan jadi model untuk kampanye partai ?

Percayalah, kalau tetangga kita nyalon presiden, pasti butuh orang - orang kayak Simbok untuk dirangkul dan dipeluk - peluk lalu masuk tipi. Bayangkan, Simbok masuk tipi seperti Kanza itu. Rak ya hebat ta ?

Demikian Mbok, surat dari saya. Semoga bisa sampai sebelum lebaran. Soalnya sering nyangkut di balai desa lama sekali. Doakan dagangan saya laris, sehingga besok bisa beli jarik pring sedapur dan bawa nastar untuk lebaran.

Sungkem saya,
Genduk Pagiyem
Jakarta - Tangerang - Indonesia

Jumat, 15 Agustus 2008

Lelaki di Jembatan Ampera


Jembatan Ampera, suatu siang
Kala mesin pengeruk menggerus tubuh Musi. Riuh besi beradu lumpur meramaikan siang. Ada banyak laki - laki yang ikut berkubang bersama roda mesin. Nampak biasa, sebiasa potret ribuan buruh di negeri ini. Tiba - tiba aku menangkap sesuatu yang nampak tak biasa pada lelaki itu. Lelaki dengan tato, JEMBATAN AMPERA !Apa maksudnya ?

Sembari tersenyum, saya memotretnya. (Saya yakin, Andapun tertawa). kalau tatonya kepala ular, tengkorak atau apapun yang berbau sangar, mungkin pas. Tapi ini tatonya landmark kota gitu loh. Begitu susah mendapatkan angel yang saya inginkan. Akan lebih menarik jika lelaki itu berdiri menghadap jembatan ampera, hingga saya bisa mengabadikan keduanya. Nun jauh di perkampungan kumuh nelayan Tujuh Ulu, serasa saya menemukan mutiara 'nasionalisme' pada sebuah negeri. Begitu harunya saya pada lelaki itu, yang sedemikian bangga pada salah satu sudut negeri ini. Hingga merelakan kulitnya ditusuk jejarum warna.

So, Selamat 17 Agustus 2008. Semoga penghuni Taman Makam Pahlawan Kalibata, dan seantero Indonesia masih bisa tersenyum di kediamannya. Mereka tak sia-sia.

Senin, 04 Agustus 2008

Merenung di Halimun



Aroma pakis, lumut yang bercampur dengan tanah basah khas hutan tropis adalah aroma yang selalu kurindu. Aroma itu telah menentukan sebagian hidupku. Menempa sebuah kegigihan untuk mencapai sesuatu. Merenungkan tentang tapak - tapak yang telah lewat. Ada tawa, cita dan cinta.

Ketika kembali ke hutan, serasa kembali ke yang Maha Hidup. Tenggelam dalam keperkasaan rimba menjadikanku malu, kenapa harus takabur ? Ketika menekuri helai demi helai dedauanan yang menghadirkan beragam bentuk, betapa malunya aku ketika harus menginjak teman demi sebuah persaingan. Bukankah masih ada helaian daun lain yang bisa kau singgahi ?Ketika menekuri remah - remah semak runtuh dan terurai di lantai hutan, kembali kemerasa rendah dan menyatu dengan tanah. Menyatu pada Yang Asal.

Cikaniki - Citalahap
Agustus 2008

Kamis, 31 Juli 2008

Why must be amicable?



Kenapa mesti baik hati ?
Barangkali itu pertanyaan konyol. Hanya saya, pertanyaan ini muncul ketika saya menghadapi suatu keadaan, dimana baik hati dan dedikasi bukan lagi menjadi tolok ukur pada sebuah penilaian (dalam hal ini scoring). Terkadang memang kita harus menerima ketiak segalanya dihitung dari angka yang dihasilkan secara kuantitatif, bukan kualitatif. Bukan pula melihat bagaaimana sebuah proses sesuatu itu dihasilkan.

Pada saat akal sehat dan kata hati yang tulus itu berjalan normal, dengan senang hati saya melakukan banyak hal dengan segala keikhlasan. Sesuatu yang boleh tidak saya kerjakan, namun saya kerjakan karena kata hati saya mengatakan baiklah harus dilakukan. Konon kata hati yang paling dalam adalah sebagian dari manusia yang selalu menunjukkan kebaikan.(hanya pada kenyataannya, yang kita anggap itu adalah perbuatan amal kita, tidak dinilai amal oleh orang lain. Terkadang mereka lupa kalau kita sudah bersusah payah untuknya. Kenyataannya, semua itu tidak ada hasil yang konkrest atau peningkatan grafik kuantitaf yang kasad mata)

Pada saat akal sehat dan kata hati saya juga sehat, mereka berdua selalu menyemangati untuk melakukan yang terbaik. Membabat segala halangan, mendedikasikan untuk keidealisan. Kalau toh itu gagal, kamu sudah berproses di dalamnya.
Pada kenyataannya, gagal is gagal. NOT MORE ! Karena scoring itu berdasarkan hasil, bukan proses yang tak dapat diukur dengan alat kuantitatif. Menyedihkan. Melelahkan.Menjatuhkan.

Perlahan namun pasti, kata hati itu ternyata masih setia menemani. Di saat-saat genting dan tak dapat dikendalikan, diapun hanya diam lantas menatap dengan pilu. ketika semakin berantakan, dia mencoba bangkit. Ketika sudah pada titik pasrah, diapun membisikkan sesuatu : KENAPA KITA HARUS JATUH, BRUCE ? KARENA KITA HARUS BELAJAR UNTUK BANGKIT LAGI. You're never give up, Alfred ? NEVER !!Itu salah satu fragmen Batman Begin.

Kusadari, baik hati memang tidak ada scoringnya. Namun tak penting itu penghargaan, karena saat berbuat baik itulah keindahan dirasakan. Proses memang tak ada yang peduli, tapi ada banyak mata yang lain yang akan selalu meletakkan diri kita di antara orang - orang yang layak dihargai. Minimal penghargaan itu datang dari diri kita sendiri. Jadi, bolehlah jatuh, tapi jangan menyerah. Karena menyerah itu artinya melumuri diri dengan kotoran ayam, bau !

Minggu, 27 Juli 2008

Seandainya novel saya terbit...


Baru saja saya baca email Pak Anwar Holid dari milist, judulnya 'Menjaga Api Semangat Menulis'. Saya baca kalimat demi kalimat, rasanya seperti cermin diri saya.

Ya, akhir - akhir ini rasanya tak lagi semangat menulis. Banyak ide, banyak impian, tetapi rasanya hanya berpusing di kepala lantas meledak berkeping - keping. Serpihan itu menguap tanpa bekas. Begitulah.

Dari tulisan Pak Anwar Holid itu, saya seperti disadarkan bahwa jika kita malas menulis, musti menengok ke belakang : motivasi. Motivasi apa yang membuat kita menulis. Kembali saya mengingat kenapa saya belajar menulis kala itu ??

Awalnya saya menulis karena ingin mengatakan sesuatu pada seseorang (hehehehe), tanpa berani mengungkapkan di depannya. Lalu 'mencipta dunia' ideal menurut saya. Jadilah saya menulis cerpen tentang romantika termehek - mehek. Dari SMA hingga semerter awal kuliah, sekitar 25-an cerpen dimuat di Mingguan Jaya Baya. Padahal waktu itu saya tidak punya mesin ketik. Saya memakai mesin ketik ayah saya secara diam - diam.

Kemudian kuliah, sayapun menulis 'idealis' di koran dan mimbar mahasiswa. Kala itu dilandasi pengaruh bukunya Soe Hok Gie. Saya beberapa kali menulis masalah lingkungan hidup di mimbar mahasiswa Solopos. Dan beberapa puisi. Juga beberapa obrolan ringan di Suara Merdeka. Entah kapan tepatnya, kala itu saya bercita - cita menjadi penulis novel. Paling tidak sebelum umur 25 tahun, sudah ada novel (ataupun buku science) yang ditulis atas nama saya.

Di akhir - akhir kuliah, saya pun menulis. kala itu tujuannya bergeser, saya butuh uang terutama untuk naik gunung. Begitulah, sayapun menulis. Dari salah satu cerpen yang dimuat plus berhutang dari teman, saya bisa sampai ke Mahameru yang waktu itu menurut saya sangat mahal biayanya.

Kini, saya menulis, tiap hari. Karena pekerjaan saya memang menulis berita. Pada dasarnya sama motivasinya, menulis demi uang. Walaupun terkadang ada berita yang memang saya sukai sehingga saya menulis sepenuh hati. Tetapi memang ada tema yang saya tidak suka dan harus menulis. Itulah yang kerap menghabiskan energi. Karena ini tugas, sayapun harus menulis. Ketika energi terkuras, saya hanya bisa menatap draft novel saya yang semakin berdebu.

Kata Pak Anwar, kita harus jujur tentang motivasi menulis. Memang, saya menulis (yang bukan pekerjaan) memang uang salah satu motivasinya. Ya hanya salah satu. Karena kalau memang uang adalah motivasi segalanya, saya akan menerima tawaran beberapa penerbit yang berniat mengontrak saya untuk menulis tetapi dengan nama samaran. Ini bukan masalah idealis, tetapi sebenarnya lebih pada perwujudan impian.

Impian saya masih sama dengan tahun - tahun yang lalu : menulis novel, tinggal di rumah kayu dengan halama penuh bunga.

Tahun 2007 silam, ada satu kumpulan cerita anak berhasil diterbitkan atas nama saya. Bahagia. Walaupun tidak sepenuhnya. Karena buku itu hanya diedarkan terbatas. Setiap kali saya ada di toko buku, saya bertanya : kapankah nama saya ada di salah satu buku - buku itu ?

Catatan di balik layar : Menulis... menulis..menulis

Rabu, 16 Juli 2008

Sore, di toko buku itu...

Toko buku itu berada di sudut komplek eksotis yang bernama TIM (Taman Ismail Marzuki). Kecil, tak sistematis, padat buku dan berdebu. Kata temen saya, toko buku itu milik Rizal Manua. Saya tidak tahu pasti. Yang jelas, setiap kali memasuki toko buku itu, saya seperti masuk pusaran waktu (kayak masuk ke jaringan Flo-nya Harry Potter).

Seperti saya berada di Social Agency di shooping center Yogyakarta (kini namanya Taman Pintar), satu dekade lalu. Selalu ada embak-embak gemuk (yang saya tak pernah menanyakan namanya), ramah dan cekatan (jemarinya lincah memencet kalkulator menghitung diskon). Dia selalu menyodorkan buku - buku yang memang selalu saya cari. Kala itu buku - buku tentang lingkungan hidup, lengkap dengan diskon terbesar yang bisa ia berikan tanpa membangkrutkan tokonya. Setelah transaksi deal, uang kumal yang menjadi energi penuhku menyetrika Malioboro beralih tangan, jemarinya memberi servis gratis lainnya : sampul plastik. Manjadikan buku itu rapi, berkilau dan glamour. Peristiwa paling megahnya, kini ada di tanganku !
Kresek kresek suara plastik dari sampul adalah irama merdu yang aku dengar. Rasanya seperti mendapat nilai A untuk ujian Rancob (semacam statistik lanjutan).Bagaimana tidak, uang itu saya kumpulkan keping demi keping dengan memotong anggaran setiap kali makan. (Tak heran bila tubuhku kecil, malnutrisi)
Entah trik dagang atau memang dia iba melihat kegigihanku mendapatkan buku, ia akan memperlihatkan buku - buku yang lain untuk saya beli bulan depannya lagi. Tentu saja dengan diskon yang amit - amit saya ajukan.Eksotisme transaksi untuk sebuah buku itu tergambar di toko buku pojok TIM.

Toko buku itu juga membawa saja mengarungi tataran waktu yang lebih berpendidikan : pelajaran bahasa Indonesia semasa SMA. Saya ingat, guru bahasa Indonesia saya namanya Pak Sigit Sugiman. Kurus, botaks, suara melengking, kumisan dan...(selalu kita gosipkan dia menyukai cowok, namanya Nurman Kurniawan - sahabatku yang ganteng (serius) dan rankingnya tepat di bawahku : 43 dari 44 siswa). Dulu saya selalu membuat beliau sibuk dengan pertanyaan yang enggak penting. Saya suka seolah bertanya serius agar beliau menjelaskan ulang. Lalu saya sibuk makan mangga mentah dan garam yang saya sembunyikan di laci meja. Seperti jamaknya murid Fisika, pelajaran B. Indonesia adalah refresing dan enggak penting. Makanya nama - nama seperti STA, Armijn Pane, Sanusi Pane, Nur Sutan Iskandar tenggelam di antara rumus bangun, fluida dan integral.
Baru kini saya sadari, bahwa orang - orang seperti Pak Sigit Sugiman, Pak Sukir (ini guru B. Indonesia saya waktu SMP, orang yang keahliannya nomor dua setelah ibu saya : dalam hal menjewer telinga)yang membuat negeri ini lebih berbudi, bermartabat dan berjati diri dan sombong dikit(tidak seperti pesan pemerintah kan ya)?. Karena beliau telah mengajarkan kami - kami, pemuda harapan bangsa yang sedikit pecicilan ini untuk mengenal dan mencintai kata dan sastra. Ranah 'omong kosong' membuat manusia menjadi utuh. Membuat bangsa menjadi bernurani.
Hanya setelah saya berada di toko buku pojok TIM itu, saya baru ingat, mengapa di buku Pelajaran Bahasa Indonsia ada nama STA, Armijn Pane, Sanusi Pane, HAMKA, N.H Dini dll. Kenapa tidak pernah ada nama Iwan Simatupang, Pramoedya, Goenawan Mohammad, bahkan Gerson Poyk pun saya tidak tahu. Di toko buku itu saya membaca nama - nama beliau.

Terakhir, toko buku itu membawa ingatan saya ke sebuah lokasi,toko buku loak di bawah pohon asem. Penjaganya adalah lelaki tua yang selalu menceritakan tentang buku yang akan dibacakan kelak jika saya sudah mengerti. Anehnya, lelaki itu justru menghilang dan membiarkan saya membaca buku yang selama ini ia jaga. Lokasi ini hanya da di cerpen saya yang belum pernah terseleseikan dan saya lupa file-nya dimana.

Senin, 14 Juli 2008

Lelaki Dengan Dua Pijar Matahari

Untuk Teguh Esha

Mata itu berpijar bak dua bola helium
Menyalakan peta langit

Mata kanan serupa fajar
Kurasakan jemari energi meraup malam
Mengisi detik dengan makna pada kata
Kau yakin bahwa kata adalah senjata
Setajam apa senjatamu melawan hitam ?

Mata kiri adalah senja
Yang gemetar dalam rengat hari
Berdiri dengan iga retak dan kulit keriput
Adakah raga berpihak padamu ?

Catatan di balik layar :
Ada lampu sebening hati di Bulungan. Satu jahe hangat dan es teh tawar, kudapatkan satu kalimat yang begitu menyentakku ' Wartawan itu menuliskan fakta' Hah !
Sayang aku lupa mengambil moment itu, ketika fosil - fosil sejarah menjelma menjadi energi pada diri 'muda' nan 'pecicilan' ini. I come to realize, to my idealism.
Thanks to Mbak Fanny Poyk (tanpa pakai J), Bang Iwan Soekri for inspiratif moment this day. That is my feel to incredible person who I meet by you - Bapak Teguh Esha - penulis Ali Topan Anak Jalanan.

Kamis, 26 Juni 2008

Kepada Roh Pagi


Yang terjaga ketika nafas lain terlelap
Yang bangun sebelum fajar merah
Yang berpeluh di antara gemuruh pesta
Yang berjasa menjadikanmu bertahta
Yang tegar walau tanganmu mencakar
Yang ingat kala kau lupa

Roh Pagi,
Masih memekarkan bunga - bunga padi yang menghidupi
Memompa oksigen ke paru - paru bumi
Memberi energi pada penghuni hari
Tak peduli Republik tak memberi arti
Pada perjuangan Roh Pagi

(Untuk kawan, tetangga atau seseorang entah dimana
Yang tak lelah menjaga
Sebentuk hidup di pertiwi kita)

--dibikin di bawah pohon angsana, depan apartemen Kedoya,
Saat menunggu seseorang sembari menghirup asap knalpot
-----
June.25.2008

Senin, 16 Juni 2008

Syaraf Senyum Petugas Stasiun, Remuk Tergilas Roda Kereta Api

Sabtu kemarin adalah hari yang berwarna bagiku. Diawali saya menjemput teman saya yang jauh - jauh datang dari Malang,menginap di Hotel Istana Nelayan (hehehe, saya baru tahu di Tangerang ada hotel juga). Sebenarnya sudah 3 hari dia ada di Jakarta untuk menyelesaikan urusan bisnisnya dengan perusahaan 'perusak lingkungan' (hahaha, sori ya Mas Heri, whatever it take, congrat with your S2 !).Karena dia belum minat pulang, saya ajaklah liputan (tepatnya main) ke rumah Pak Greg (Gregori G. Hambali).

Barangkali, kalau bukan orang yang berkecimpung di tanaman, nama beliau cukup asing. Yang jelas, Pak Greg itu ilmuwan tingkat dunia yang 'tak mendapat tempat' di negeri ini. Bertemu dengannya bagi saya seperti kuliah 5 tahun di Pertanian. Saya setia meliput dia sedari tahun 2003, hingga kini. Bagi saya, dia sudah menjadi seperti ayah saya, dosen saya, tempat saya menanyakan banyak hal terutama tentang tanaman, tapi tidak tentang Tuhan dan agama. Yah, begitulah..selalu ada yang baru bila saya datang ke tempat ini, apalagi di kebunnya yang seluas 3.000 m dimana tersimpan tanaman unik dari seluruh dunia. Saya begitu ,menikmati ngobrol dengannya ditemani setandan pisang (bener-bener setandan). Satu yang kuingat dari kata - katanya "Kamu harus menulis yang bermutu, agar orang mendapat sesuatu, inspirasi dari membaca tulisanmu."

Tak dinyana, teman saya ini penelitiannya sama dengan Pak Greg, tentang ubi jalar. jadilah, mereka berdua yang ahli pemuliaan tanaman larut dalam diskusi ilmiah. Tak dinyana pula, teman saya ini agak tak biasa jua (untuk tidak mengatakan sinting). Dia sepakat dengan Pak Greg "Ya, surga dan neraka itu untung - untungan. Siapa tahu memang ada, jadi kita juga enggak rugi berbuat baik seperti yang disyaratkan untuk masuk surga." No Comment.

Pulangnya, ke stasiun Gambir, teman saya ini ngotot pengin naik kereta. saya sudah pesankan tiket, tapi saya lupa, tiket tersebut atas nama saya. Karena butuh untuk admisnistrasi perusahaan, tiketnya harus diganti nama bersangkutan. Hemm..sayapun harus berurusan dengan pihak stasiun kereta. Pihak stasiun kereta itu identik dengan kata tidak menyenangkan. Percayalah. Saya minta teman saya ini duduk manis saja, sayapun ambil napas panjang. Begini kronologisnya.

Saya tanya ke petugas berseragam biru dengan topi putih, di lenganya tertulis PROV yang amboy...gagah nian. Jawabannya segagah yang saya kira (dan saya sudah hafal betul).

GAK BISA ! GAK BISA DIGANTI (Huruf besar ini sebagai visualisasi nada yang sama dengan ketika Anda mengucapkan "GO TO HELL atau PERGI KAU PENGEMIS, Anda mengerti kan ?") Kembali saya ambil napas sepanjang mungkin.

"Bapak ada saran ?" tanya saya dengan sesopan mungkin diikuti senyum.

"TANYA KE LOKET " ( Ini identik dengan TEGAK SENJATA...GRAKKK)

Sayapun menuju petugas loket. Perlu Anda tahun kata petugas loket itu sama artinya dengan tugu batu, beku dan syaraf senyumnya sudah rusak terlindas roda kereta api. Sungguh.
Setelah mengantri barang 8 - 10 peserta, dimana ada dua kunyuk yang nyerobot. saya pun berhadapan dengan petugas. Sebelumnya saya sudah ambil napas panjang dulu, berharap oksigen bisa memperlebar hati saya hingga lapang.

"NGGAK BISA. DALAM ATURAN, HANYA JAM DAN KERETA YANG BOLEH DIGANTI !! (Huruf besar di sini sebagai simbol bahwa kata - kata diucapkan dengan kekuatan penuh. Agaknya baterei petugas itu habis dicharge)Saya pun tersenyum.

"Terus saran Bapak bagaimana ?"

"HARUS GANTI TIKET"
(Lalu teman saya yang tiba-tiba ikut nimbrung langsung setuju)

"Eh tunggu dulu, kalau ganti tiket itu artinya bayar lagi kan ?"

"YA IYA. NGEPRINT TIKET LAGI. "

"Lalu tiket lama mau diapain Pak ? Dikasih ke calo ?" (Alot)

"KALAU GITU, BAYAR Rp 125.000, nanti saya print lagi" (125 ribu itu artinya stengah dari harga tiket. Setara dengan 10 kali makan)Teman saya langsung setuju, tapi saya bilang NO WAY !!

"Pak, bayar 125 ribu itu aturan darimana ? Atau aturan yang bapak bikin barusan ?Boleh saya ketemu dengan kepala stasin ?Atau petugas administrasi ?

"NGGAK ADA KEPALA STASIUN. SEMUA UDAH PULANG"

"Yang benar Pak. Jadi tidak ada yang bertanggung jawab di stasiun ini sekarang ?"tanya saya dengan senyum.

Petugas itu kehabisan kata-kata. Lalu saya disuruh bertanya ke para lelaki gagah tadi dimana letak ruang adminitrasi.

"Terima kasih, Pak. Bapak tahu enggak..sebenarnya Bapak itu cakep loh. Sayang enggak bisa senyum...jadinya mirip hantu" komentar saya sembari berlalu. Saya tidak menyempatkan diri untuk melirik lagi.

Ketika saya kembali ke lelaki gagah berseragam biru itu, jawaban pahit masih saya dapatkan. Tetapi saya hanya senyum dan senyum. Hingga saya menghadap petugas adminitrasi, nama diganti dan dicap stasiun hanya dalam 3 detik. Begitu keluar, saya melewati petugas berseragam biru tadi.

"Gimana, bisa " (Anda lihat, nadanya sudah beda"
"Bisa"
"Gimana caranya"
"Ada capnya kepala stasiun"
"ITU BUKAN KEPALA STASIUN"
"Ada kok, gak percaya..check aja" kata saya yakin. Saya lihat keraguan di wajah lelaki gagah tadi. Nah, lo..."MAU TAUUUUU AJAHHHH" kata saya sembari mengibaskan rambut.

Keluhan semacam ini sudah saya tulis di sini beberapa waktu lalu. Sempat juga saya berniat menulis di Kompas. Tapi entahlah, saya merasa itu sia - sia saja. Saya hanya berdoa dan doa saya memang tidak nasionalis "Ya Tuhan, datangkanlah investor asing yang berinves di Kereta Api. Agar PT KAI ada saingan. Jangan lupa Tuhan, datangkan pula dokter bedah ahli, yang bisa mengoprasi semua petugas kereta api hingga mereka bisa senyum kembali. Amin" Dan Anda seharusnya juga mengamini doa saya.

Senin, 02 Juni 2008

That the friends are for



Pada awalnya hanya senyum
Lalu sapa
Lantas kata

Kemudian canda
Ada cerita
Tentang dia, mereka, cinta dan waktu
Mengalir ide

Dilanjutkan dengan khayal
Pada mimpi
Tentang keidealan

Sampai di sini kita memang berbeda
Dalam pandang
Dalam jarak
Dalam rentang usia

Tetapi kuyakin semua itu terengkuh hangat
:peluk seorang sahabat

Jakarta, Juni.1.2008
(Untuk F Rahardi dan Sutan Iwan Soekri Munaf (Kak Iwan hahahaha)

"Ini yang saya rasakan ketika berada di antara obrolan 'dua fosil' menakjubkan ini. Pada suatu malam ketika Jakarta macet dan bulan sabit yang berkarat. Dengan ayam pop, gulai kambing dan kopi hitam. Sungguh saya merasa bukan siapa - siapa. Masih banyak yang harus saya pelajari. Thanks telah mengenalkan saya pada dunia yang saya kagumi"

Jumat, 30 Mei 2008

Lady of Heaven

Coklat dan kopi, perpaduan yang menawan

Seminggu ini, hidup saya serasa unik dan nyentrik. Dari mulai menunggu kepulangan suami saya yang katanya akan pulang minggu ini (Waduh, Sayang... datanya belum kelar dientry.Terus?Ya, ditunda awal bulan.Hiks. Ya udah deh, Mas... yang penting tidak menikah dengan gadis desa yang lugu dan lupa pernah nikah sama saya. O, santai saja...tidak banyak kok yang mau sama aku, kecuali kamu. Oh, syukurlah)

Masih berurusan dengan tunggu menunggu, seorang kawan (saya menyebutnya kawan saja,walo lebih tepat disebut 'suhu'alias guru)datang dari Prabumulih, Bang Sutan Iwan Soekri Munaf, datang ke Jakarta. Setelah menyesuaikan jadwalnya yang luar biasa sibuk dengan jadwal saya yang sok sibuk, akhirnya disepakati kita ketemuan hari kamis, 6 hari setelah beliau ada di Jakarta. Kebetulah ada mbak Fanny Poyk juga merencanakan bertemu. Entahlah, begitu semangatnya saya menunggu hari itu, sampai saya coret hari demi hari yang saya lalui (ini salah satu bentuk kesintingan yang kadang ga masuk akal).Akan banyak yang akan saya tanyakan. Akan banyak yang akan kami obrolkan. Tahu apa yang terjadi ? Tepat 24 jam sebelum hari H, kabar yang membuatku ternganga sekaligus ketawa "Aduh, Nduk... saya sakit xxxxx. Beneran,Abang tidak bohong." Sakit itu sengaja diberi tanda xxxxx,karena sakit ini memang benar sakit tapi sakit yang bikin ketawa orang yang mendengar. Setara dengan sakit gigi deh.(Bang Iwan, komentar Mas Gi'..Wan..wan, sakitmu kok memalukan gitu. Memangnya kamu ngapain aja hahahaha).

Di sela - sela tunggu menunggu, sayapun bekerja (sungguh kok, bos. Saya tetap wartawan telad-an hahaha)Di tengah kemelutnya harga BBM, demo mahasiswa (Heh, Rif..Arif Nurhayadi BEM Faperta 2000, masih idup kagak lu ?Jadi ingat, kamu ya yang menjerumuskan aku sampai terkapar tidur di bawah air mancur gedung DPR dengan uang Rp 9.300,- di jas almamater biru langitku itu, uang sisa beli mie ayam Pak Ho untuk menempuh Solo-jakarta. Awas ya kalau kamu ternyata duduk manis jadi pejabat. Gua kutuk ambien berat !!).Nah, pekerjaan saya itu meliput sebuah pameran bunga internasional. Persertanya para ibu kelas atas dengan sanggul menjulang (kata teman saya - lady coffe morning).Suasananya demikian megah, kontras dengan suasana di pagar gedung parlemen. Tahu enggak, pembaca yang budiman...saya tidak mimpi buruk malam sebelumnya, tidak melakukan hal yang tidak senonoh, kenapa hari itu sial bener.

Pertama, saya tidak dapat celah wawancara tokoh - tokohnya sama sekali. Karena memang tokohnya itu orang asing (bc Amerika). Alhasil, saya hanya mendengarkan dari luar ring sambil mencatat secepat mungkin. Ada ibu - ibu, one of lady coffe morning, menanyakan :
"Emang kamu tahu artinya apa ?" Oh huhuhuhu
"Ehmm...sedikit, Bu." Jujur saya jengkel berat. Tampang saya memang khas Klaten (The megapolitan city hehehe), tapi untuk mengerti ucapan bule, apalagi tentang po'on (bc: taneman) tidak sesulit saya mengartikan teks original sajaknya Shakespeare. Tetapi kejengkelan saya mendapat jawaban saat itu juga, ketika si bule justru mendekati saya dan saya bisa wawancara dengannya, lamanya dua kali lipat waktu yang dijadwalkan untuk wartawan lain. Bule itu mau menerima siapa saja, tak peduli tampang. Apakah ini yang membuat negara lain melangkah lebih cepat dari negeri ini ?Bahkan secara enggak sadar, justru saya beri tahu lebih banyak ilmu tanaman daripada si bule itu. Hah, look at me. Im Indonesian people, agraris country. I proud of my self as a farmer. Really farmer, not Indonesian Farmer Society (bc : HKTI/Himpunan Kerukunan Tani Indonesia)
"Oh, kamu bisa juga toh ngomong sama dia. Tahu betul kamu tentang tanaman" komentar ibu itu. Ah, telat bu...ini ni Bu, tampang Klaten, tampang po'on!

Ada satu lagi hidup saya yang berwarna minggu ini. Ketika saya bertemu dengan seorang kawan (kali ini saya takkan sebut namanya) di sebuah diskusi para sastrawan hebat. Seorang kawan yang mengaku pernah kena pelecehan seksual. Lalu menjadi trauma dengan laki - laki. Pelampiasannya justru dia bisa jatuh cinta dengan lelaki yang usianya jauh di atasnya, sangat jauh, bahkan kalau diusut itu seusia dengan kakeka saya. Bayangkan kalau laki - laki yang pernah dicintai itu kini usianya 77 tahun. Ia mencari figur pelindung. Saya benar - benar tak menyangka, dia yang tulisannya begitu berat, di majalah sastra yang berbahasa berat, hidupnya berat juga. Dia yang wajahnya tak berdosa, polos dan begitu belia (ternyata seumurku).

Tiba - tiba saya menjelma menjadi dirinya, bagaimana saya dulu pernah begitu terpesona dengan 'dunia intektual' yang mengawang - awang. Ranah ideal yang diobrolkan hingga ampas kopi-pun tertelan hingga butir terakhir. Saya pernah hidup di sana walau tak persis sama. (Sekali lagi Rif, kalau kamu baca tulisanku ini, dimanapun kamu berada, tapi kuharap bukan muncul di Patroli ya, kamu harus berjanji untuk mengembalikan 'hidup saya' yang kau comot hingga terdampar di perempatan Gladag, lengkap dengan slogan - slogan 'sinting' itu, hah!)Kesimpulannya, kalau mau 'sembuh' dan 'normal', come to the riil world. Standing on the earth. Stop be lady of heaven...

Tetapi satu yang aku acungi jempol dari kawan tadi, ia tetap berdiri. Selalu membuat dirinya bersinar. "Gue ingin tunjukkan, Tik...gue tetap ada. Gue tetap layak dihargai dengan karya - karya gue, bukan dikenang dari masa lalu gue. Soalnya kalau gue mo nuntut pada orang yang melecehkan itu, sama saja gue bunuh diri. Dia pegang kartu As gue." Saya jadi beku. Kau hebat, kawan...

Catatan Untuk Sausan :Sayang, kini kamu mulai tahu siapa ibumu. Makanya, setiap ibu berangkat kerja harus pakai ritual : menggendongmu hingga pintu gerbang, cium pipi kanan, cium pipi kiri lalau kamu bilang daaaaa sambil memutar pergelangan tangan kirimu.Jadi, ibu enggan pergi. Btw, Sayang...ada puisi indah yang ditulis oleh penyair hebat di negeri ini, hanya untukmu, Sausan. Kalau sudah tahu, akan ibu kasih tahu. Ayah saja enggak punya loh...

Kamis, 22 Mei 2008

Prolog

Untuk sebuah nama
Yang tak seharusnya kusebut kembali
Sayangnya, ingatan tak butuh keharusan

Maka,
Ijinkan aku mencuri secuil inspirasi yang menjalari jejaringan syarafmu
Ijinkan aku tetap membingkai diskusi hebatmu dalam folder-folderku
Ijinkan aku memupuk imagi tentang bumi yang hidup dan menghidupi

Percayalah,
Aku tak bermaksud mengusikmu
Kukagumi dirimu beserta planet yang berporos padamu
Dalam harmoni sistem semestaku dan semestamu
Kaulah… matahari di tata surya galaksi tetangga
(Folder F)

Senin, 19 Mei 2008

Folder yang terserak


Cinta adalah gugusan rasa
Bukan persenyawaan antar molekul-molekul
Cinta tak butuh medium
Kendati hati adalah tahtanya
Namun cinta tetap tak teraba
Kau pernah mendengar kisah perang Bubat ?
Bagaimana kau jelaskan jika peristiwa berdarah itu
Terlahir karena cinta Hayam Wuruk pada lukisan Dyah Pitaloka
Hanya lukisan, bukan wujud nyata
Sungguh aku menyayangimu

*****

Entah mengapa
Rasa itu datang begitu saja
Bahkan sebelum pertemuan kasat mata

Sungguh aku menyayangimu
Sebagaimana aku sayangi setiap serpih waktu bersamamu
Sebagaimana aku sayangi tiap inchi panjang gelombang suaramu
Sebagaimana aku sayangi setiap butir loncatan neron otakmu
Sebagaimana aku sayangi tiap denyut aortamu

Meski aku tak lagi bisa genggam tanganmu
Atau sekedar menyapa 'Apa kabar, matahari pagiku'
Meski aku tak bisa miliki kehangatan bincang kita
Atau sekedar menyapa 'Apa yang sedang kau risaukan saat ini ?'
Meski aku tak pernah bisa dan tak pernah ingin
Memiliki jasadmu...
Bisakah kau lupakan sebentuk raga, sebentuk perseteruan
Lepaskan segenap jubah aturan, komitmen, konstitusi, konspirasi
Meleburlah bersama Yang Maha Lebur
Di sana ranah material bukan lagi kendaraan
Karena roh tak butuh tumpangan

Sungguh munafik bila kukatakan
'Aku tak mencintaimu'
Karena itulah aku dalam ambigu
***

Hahaha...Anda sudah baca kalimat melow di atas ??? Saya sungguh senang sekali menyampaikan pada Anda. File itu sempat saya kira lenyap, tapi berkat bantuan teman (Mas Fajar, memang kau harus menraktir ayam bakar agar ide kreatif itu muncul lagi hahaha).

Ceritanya begini, tahun 2004 saya mencoba menulis novel. Dengan tertatih - tatih, dalam 2 tahun draft itu kelar, sekitar 190-an halaman. Sempat saya print untuk dikirim ke penerbit ternama, dan ditolak habis. Setelah itu, saya biarkan 'anak manis' itu teronggok di antara buku - buku dan berdebu.

24 Maret 2007, anak saya lahir. Malam itu juga, rumah saya kebobolan dan semua barang lenyap kecuali kulkas dan Mr. lemot (kucing saya yang sekarang sudah almarhum karena kena racun tikus tentangga). Yang paling nyesek di antara sekian barang yang lenyap adalah lap top dan kamera. Bahkan karena itu, suami saya menyampaikannya dengan berliku -liku karena dia tahu betul saya saya menyayangi benda itu.

Tetapi kala itu, saya tidak merasa begitu kehilangan karena sibuk bahagia dengan kelahiran anak saya. Tetapi begitu sadar, bahwa hilangnya lap top itu artinya hilangnya data yang ada i dalamnya, termasuk novel yang saya tulis selama dua tahun itu. Lunglai sudah dan saya sempat tidak mau lagi mengingatnya.

Dua hari yang lalu, Mas Fajar (dan sekeluarga : Mbak Rika, Faya dan Faza...haha kalian sudah besar yah). Menraktir ayam bakar khas solo. Saya jadi ingat waktu tulisan saya di Suara Merdeka dimuat, dengan semangat saya berniat traktir Mas Fajar makan di ayam bakar bu Broto yang terkenal itu. Ternyata dompet saya ketinggalan..hehehe

Sebelum berangkat, dia mengingatkan saya bahwa saya pernah kirim draft novel itu via email. saya sendiri sudah lupa pernah mengirimnya. Mas Fajar yakin, saya mengirim banyak bab.Tetapi pas dicari - cari tidak ketemu.

Tadi sore, saya telepon Bang Iwan sekedar ngobrol ngalor ngidul. Sampai akhirnya saya ingat kejadian yang berkaitan dengan novel itu. Saya cari lagi di komputer kantor...foleder itu masih ada !!! 90% naskah itu tersimpan rapi di dokumen yang sudah sekian lama tidak dibuka. Saya sujud sukur...

Catatan untuk Sausan : Ayah, sekarang adik semangat menulis lagi. Tunggu ya, kalau ayah pulang akan adik bacakan satu novel hahahaha.

Bogor Style, hah ?!


Jumat yang cerah, di seputaran Ciawi.
Saya heran, kenapa minggu ini diliputi urusan dengan palak memalak para stakeholder angkutan. Baru Senin lalu, saya berurusan dengan becak di Palembang, kini saya berurusan dengan tukang ojek di Sukamanah, sekitar 30 km dari perempatan Ciawi.Walaupun secara geografis beda dengan Palembang, tapi secara esensi sama.

Berawal ketika saya sampai Pasar Cibedug, mau menuju ke Kebun Bunga Pak Benny (tempat yang selalu aku suka karena hamparan bunganya serasa di Eropa). Saya naik ojek setelah tawar menawar dengan jelas (saya enggak mau ketipu lagi). Disepakati harga Rp 4.000,- (empat ribu rupiah). Jalur yang harusnya ditempuh 10 - 15 menit, muter - muter enggak jelas,saya diberhentikan di villa dengan pagar tinggi dan bersemak belukar.
"Ini kan tempatnya ?"
"Tempat apaan ? Saya mau ke Kebun Politani, Kebun Bunga Pak Benny...bukannya tadi bapak bilang tahu ?"
"Loh...kan ini, yang saya tahu ini "
"ini kan bukan kebun bunga pak benny, ini villa dengan bunga liar. Saya enggak mau cari kamar, Pak. Tapi mau cari berita ?"
"Dari tadi yang jelas dong,Mbak...kalau ke Politani mahal, jauh."
"Ya jauh dari sini. Bapak sudah muter - muter enggak jelas."
"Bukannya gitu, mbak..jalan biasa rusak. Kalau ke Politani mah 35 ribu"
"maksud bapak apa ?" Perselisihan kembali alot.

NO WAY ! Saya enggak mau ketimpuk dua kali dalam seminggu. Kali ini saya tahu betul wilayah ini, saya enggak dikejar dedline..jadi saya bisa mikir jernih.
"Begini aja deh, Pak...kalau Bapak ngotot saya harus bayar 35 ribu untuk sampai kebun politani, dan saya enggak yakin Bapak bisa sampai sana. Balikin saja saya ke tempat semula. Jadi anggap aja bapak enggak pernah ngojekin saya." Dilihat dari wajahnya, Bapak itu mengisyaratkan 'Coba saja kalau berani, dijamin ga ada ojek lagi' Saya pun tersenyum simpul.Bodo' ga da ojek ya telepon nara sumber, minta dijemput.

Sesampai di pasar cibedug, Bapak itu senyum penuh kemenangan. Lalu berulangkali nawarin lagi untuk dianter. Sorry..borry morry...saya malas berurusan denganmu lagi!
Tak berapa lama, ada yang lewat. Tukang ojek junior. Masih kecil dan terlihat belum ahli naik motor. Demi menjadga gengsi, saya pun say goodbye dengan ojek senior tadi. Lihatlah, siapa yang menang ?

Tapi resiko dari jaga gengsi pun tidak mudah. Ternyata ojek yunior memang serem, apalagi jalannya sempit, nanjak dan berkelok. Wah, kalau sampai kejeblos di jurang pinggir jalan...benar - benar bukan cerita menarik. Akhirnya saya ajukan solusi..
"Dek...biar saya saja yang di depan" Begitulah, tidak jelas, siapa tukang ojek siapa penumpangnya. Jalan menanjak bukan masalah bagi saya mengingat dulu pernah kejar kejaran dengan polisi di sepanjang Slamet Riyadi Solo hingga akhirnya polisi berkomentar " Kuliah di pertanian ? Kenapa tidak jadi pembalab saja" hahahaha

Di akhir cerita, saya tidak jadi kehilangan Rp 35.000,-...tapi malah si ojek junior enggak mau dibayar. ya karena kasihan, saya ajak makan cilok (semacam siomay) karena saya kelaparan setelah 'berdiskusi' dengan si tukang ojek senior.

Hahaha..this is Sukamanah Style...

Catatan buat Sausan : Sayang, Indonesia tak seramah dalam cerita. Kemanusiaan begitu mahal harganya. Koruptor tak hanya didominasi oleh pejabat, tetapi siapapun bisa melakukan. Kalau mengingat ini, Ibu menjadi menyesal..kenapa dulu harus merelakan tidur di bawah air mancur Gedung MPR DPR demi menyampaikan tuntutan rakyat. Rakyat yang mana ? (seorang kawan ibu pernah mengatakan, kalau orang kecil korupsi untuk makan. Jadi lebih bisa dimaafkan. Benarkah ?)

Senin, 12 Mei 2008

THIS IS SOUTH SUMATERA STYLE, NDUK..







Itu yang dikatakan Bang Iwan (Sutan Iwan Soekri Munaf), penyair yang tanpa sengaja saya temui di Palembang. Mungkin ini cara Allah mempermudah liputan saya, hingga Bang Iwan dikirim-Nya untuk menemani saya ke pelosok Muara Enim. Kalau dilihat dari plang hijau penunjuk arah, Palembang - Muara Enim sejauh 186 km. Tapi karena saya masuk ke pelosok2, speedometer mobil menunjukkan angka 380 km PP. Dari jam 9 pagi sampai jam 10 mlm.

Bagi saya, meliput suatu daerah, bertemu dengan orang - orang di pedesaan selalu memberikan pelajaran hidup tersendiri. Kali ini saya bertemu dengan petani nanas palembang (yang sebenarnya nanas Prabumulih), Bpk Narman dan keluarganya. Perlu ada catat, untuk sebuah nanas yang dari Pak Narman dijual Rp 1400, dibutuhkan waktu 18 bulan menunggu buah nanas masak di pucuk pohon. Selama itu, Pak Narman harus menjaga nanas - nanas itu dari serangan babi hutan. Alhasil, ketika nanas mulai berbuah, Pak Narman menjaga di malam hari. Menjaga di pos hansip komplek rumah itu saja sudah cukup menjengkelkan, Pak Narman ini harus berdiam diri di gubuk panggung yang dibangun di tengah kebun nanas, 2 km dari perkampungan. Berdiam diri,hanya ditemani nyamuk..tak tanggung - tanggung, karena Muara Enim daerah rawa, nyamuknyapun berlabel malaria.

Dengan upaya kerasnya, Pak Narman bisa menghidupi anak - anaknya. Salah satunya Minah yang mengantar saya dan Bang Iwan ke kebon. Minah ini gadis usia 14 tahun, kelas 3 SMP yang ramah dan malu - malu. Dia yang menjadi penerjemah wawancara saya dengan ayahnya. Melihat antusias Minah, saya ingat masa kecil saya seusianya. Pas saya tanya, Minah kamu suka baca ? "Suka..suka banget'. Novel apa yang kamu baca ? "Buku Pelajaran Bahasa Indonesia'. Oh...
Liputan itu sampai malam,Bang Iwan mengantar saya ke sentra duku Palembang (yang sebenarnya duku Muara Lawai, ini masuk Prabumulih). Selesai liputan jam 5 sore. Saya berniat mencari travel karena saya rasa Bang Iwan sudah lelah nyetir plus masuk - masuk kebon nanas.

"Heh...this is South Sumatra, Nduk. Bukan Kebon Jeruk. Sudah, saya antar kamu sampai Palembang. Mana bisa aku melepasmu." Awalnya, saya hanya menganggap perkataan itu hanya bentuk perhatian bagi seorang kawan yang datang dari jauh. Hari ini, saya merasakan what kind of South Sumatera Style.

Sehabis wawancara dengan walikota Palembang (yang telah 3 hari bikin janji selalu gagal), saya naik becak mau mencari internet. Si tukang becak sebut saja namanya Mr.Borokotok bilang tigo setengah karena warnet dekat. Naiklah saya dengan gembira. Kayuh demi kayuh, kok saya masuk pasar kumuh (yang saya yakin warnet takkan cocok dibangun di sini), perumahan padat (yang saya yakin juga, tidak ada potensi bikin warnet) dan entah apalagi.

Saya mulai curiga, dan akhirnya saya minta berhenti di tengah jalan. Begitu saya kasih 7000 (dua kali tigo setengah) Mr. Borokotok. minta tujuh puluh limo ribu. Ternyta tigo setengah itu kamuflase untuk 'memeras; sebagai 35 ribu. Mangkel, dongkol, panik diburu deadline, pertengkaran panjangpun berlangsung. Sampai ada bapak - bapak (yang ternyata polisi) mendekati kami. Beliau mau bayar ongkos kalau kurang. Tapi saya gengsi (ini nih sok), makanya saya bilang ke bapak itu kalau everything is oke. But I'm wrong. Saya bayar 35 ribu. ini karena Mr. Borokotok dari awalnya mencak - mencak mengaku bekas napi (I dont care, semakin jengkel saya. Kalo bekas napi, tulis aja di otobiografi lu!Nah, yang bikin saya jatuh Mr. Borokotok Van Napi ngaku menghidupi anak istri bla..bla..bla. ini membuat tiba-tiba saya ingat Sausan, anak saya yang keriting, lucu dan imut di rumah sendirian. Ikhlaslah saya kasih 35 ribu walau ia masuk memelas minta terus.Doa saya, ya Allah, kalau Kau pengin menciptakan lagi makhluk, jangan lagi yang seperti Mr. Borokotok ini.

Begitu Mr. Borokotok Van Napi pergi, saya duduk di pinggir jalan, lunglai dan mendadak lapar. Bener - bener kelaparan karena ternyata saya makan pagi di hotel hanya sebiji model (istilah lain untuk empek - epmepk yang menjadi menu selama 3 hari ini). Datang tukang becak yang baik hati mengatakan, 75 ribu itu pemerasan.Harusnya tadi adik panggil kami. Bbbrhhhh...bagaimana saya bisa percaya, sesama tukang becak ?
"Wah kalau dari Pak Wali, kenapa adik ga tanyo tanyo. Adik kan wartawan (press card masih melilit di pinggang saya) bla..bla.

Iya ya..kenapa wartawan kok tidak nanyo - nanyo? Sebuah pelajaran hidup bagi saya di kota ini, wartawan itu harus tenang dan menerapkan 5 W 1 H
What...75 ribu WHAAATTTT?
Where..dari Kantor Walikota - dekat Hotel duta itu cuman 10 ribu maksimal
Why...sompret, nape lu meres orang dompet tipis, cewek, kecil lagi
When...saat orang lagi berlomba dengan detak waktu deadline, tega teganyo
Who...Mr Borokotok bekas napi ? Di Jakarta malah bekas mayat (katanya rumah kebakaran dan dia ikut kebakar, tapi kok idup lagi)
How...modus kejahatan lu memanfaatkan logal lokal Palembang bakal dikutuk sama Raja sriwijaya, jadi pelengkap candi Borobudiur, sungguh,

Ya, South Sumatera Style...different with Kebon Jeruk Style.

Catatab buat Sausan : Sayang, kamu baik - baik saja ya. Maaf Ibu belum pulang hari ini karena pesawat belum ada. Kamu hati - hati ya, I miss u much...Ayah, Ibu berdiri di jembatan Ampera, nanti fotonya disandingkan di Jam Gadang yah...tapi sayang, ga da ayah di sana :)

Kamis, 24 April 2008

Getar Sayap Lebah


Ketika rutinitas kian menyita sisa hidup kita
Semakin sedikit relung yang tersedia
Untuk sekedar tersenyum, menyapa, bercengkerama
Atau sesekali memperhatikan yang ada di sekitar kita

Irama bising mobil roti di pagi hari tepat pukul enam
RRROTI ROTI...ROTI BBAKAR ROTI UNYIL RROTI MMMANISZZZ
Teriak semangat tukang sayur dengan kangkung dan bayam di pundaknya
SSA A A YUUUURRRRRRR
Nada monoton tukang sol sepatu di atas sepeda yang hanya terdiri dari roda
Seperti nada bosan terdengar pendek - pendek PPOP POP PUK
Ah uang, apa yang kau lakukan pada mereka?

Sesekali dengarkan bisik suara alam
Getar cinta sayap lebah yang dititipi salam si serbuk sari
Untuk disampaikan pada putik pujaan hati
Menggoyang sebutir embun yang tenang di daun mawar

Nada lembut embun yang jatuh di dedaunan
Meluncur anggun menelusuri jejaring urat daun
Terus meluncur meluncur kehilangan pijakan
Mendarat anggun di kubangan air
Tempat kecebong melewatkan sebagian siklusnya
Untuk kelak menjadi pemusik handal
Kung kung koook
Merdu sekali bukan ?

Ketika berdesakan naik angkot dan bisa antar kota
Di pagi hari, wajah segar nampak tegang dalam cengkeram waktu
Di malam hari, wajah kuyu penuh timpukan sandal sang waktu
Ketika aku tak dapat duduk (who care ?)

Dengan Basmalah, Saya pun duduk di tempat paling menuai resiko
Meringkuk tegang di dashboard depan sopir, menghadap para penumpang
Jadilah saya point of interest
Karena kudapati semua muka penumpang menghadapku dengan wajah berminyak
Tapi santai saja, tak perlu GR
Toh semua mata lelap hingga mirip zombie yang duduk di kursi
Cobalah perhatikan sesekali pada posisi saya
Pasti Anda akan ketakutan atau geli luar biasa
Pertanyaan retorikpun muncul : Jakarta, apa yang kau lakukan pada mereka hari ini ?

Begitulah rutinitas yang semakin memadat
Seakan 24 jam tak cukup untuk membagi hari
Tentu Andapun merasakannya
Tetapi semoga tak mematikan rasa Anda

Sayapun semakin khawatir
Masih adakah sedikit ruang di diri saya
Untuk sekedar duduk diam dan melamun

Catatan untuk Sausan : Sayang, lekas sembuh yah ? Betapa rapuh ibu jika kau sakit.

Kamis, 03 April 2008

Sebuah Kebaikan Kecil



Barusan saya membaca Lentera di Majalah Intisari bulan April. Judulnya 'Kebaikan Kecil'. Ceritanya tentang sepasang kekasih yang sedang malam mingguan, lalu melihat teman perempuannya yang dijuluki si katrok gara-gara dandanannya ancur, nekad hujan - hujan. Ia mendapat SMS ayahnya meninggal. Jelas si cewek amburadul itu menjadi tontonan. Lantas sepasang kekasih itu menyelamatkan dengan mempersilakan si cewek naik taksi dan mengantar hingga rumah.

Berselang waktu kemudian, si cewek katrok itu menjadi orang sukses dan cantik. Lantas mengundang sepasang kekasih (yang akhirnya menikah) untuk menghadiri pembukaan salah satu cabang perusahaan. Mereka diminta maju ke atas panggung, diperlakukan istimewa di hadapan para tamu si cewek yang dulu amburadul, kini menjadi general manager perusahaan terkenal.Ia menceritakan 'kebaikan kecil' sahabatnya di hadapan para tamunya. Tentu saja suami istri yang hanya orang biasa itu terharu.

Saya haru membaca tulisan tersebut. Entahlah, itu mungkin semacam cermin dari masa lalu. Dulu penampilan saya mungkin sehancur cewek itu. Rambut yang panjang tak terawat, baju yang seadanya. Bahkan ke kampus tak jarang saya memakai kemeja ayah saya (ini bener..) karena memang tidak ada budget untuk sekedar membeli baju. Apalagi ber-make up seperti teman-teman saya. Untuk bisa bertahan kuliah saja sudah bersyukur. Saking amburadulnya saya, barangkali para lelaki itu lupa kalau saya perempuan. Dari cara memperlakukan hingga olok - olok mereka. Tetapi semua itu saya anggap lelucon (walau kadang menyakitkan). Untung saya masih punya teman - teman di Mapala yang mau menerima saya apa adanya. Kebersamaan kami menjadikan sekretariat yang super berantakan (dulu) dan penuh nyamuk karean ada di tengah hutan kampus, sebagai home sweet home bagiku.

Waktu berselang, saya sudah punya rejeki sendiri dan tinggal di Jakarta. Alhamdulillah untuk membeli baju ketika ingin, sudah ada uang. Saya menikah dan dianugerahi putri terlucu untuk kami.

Suatu siang, teman kuliah saya menelepon. Ia dulu pacarnya teman kos saya yang cantik . Setelah ngobrol lama, akhirnya tercetus kata begini :
"Sekarang kamu kayak apa ? Apa rambutmu masih pecah - pecah kayak dulu ?" Barangkali kalimat itu bercanda. Tetapi saya baru tahu, itulah yang terekam di benaknya. penilaian fisik yang seperti umumnya lelaki punyai terhadap perempuan. Sah saja, itu alami. Hanya saja, apakah tidak ada pertanyaan lain yang lebih bersahabat dibanding itu ?

Terus terang, saya agak kaget dengan pertanyaan itu. Dalam hati saya mengatakan, toh dulu kamu juga tidak masuk dalam daftar lelaki idola versiku. Kalau mau mengingat penampilan fisik yang sungguh saya tak menyukai juga. Tapi bukan itu yang saya ingat dari seorang sahabat dan layak ditanyakan di kemudian hari.

Ketika saya mau 'membalas' tapi ternyata kenyataan dia sudah cukup pahit. Dia batal menikah dengan teman kos saya di detik terakhir pacaran, padahal undangan sudah disebar. Gara-garanya si teman saya tertarik dengan cowok lain. Memang tidak masuk akal, tetapi mungkin itu peringatan baginya, semoga bisa menilai sesuatu dengan lebih bijak.

Saya hanya mengingatkna pada diri saya, siapakah saya sehingga berhak menilai orang dari penampilan fisiknya ? Siapakah saya sehingga bisa merendahkan orang lain ?

Catatan dari Sausan : Ayah, kemarin Sausan jalan2 sama ibu ke kebun raya cibodan dan taman bunga cipanas. Seru deh...tapi pas di cipanas di tempat yang banyak bunga, sausan tertidur. Waduh...

Selasa, 25 Maret 2008

Selamat ulang tahun, sayang..


Tak terasa,
Dua belas purnama kau alunkan nada di rumah mungil kita
Sebuah simponi yang menyadarkanku, aku menjadi seorang ibu

Sayangku,
Kunyalakan lilin angka satu di atas kue bulat
Sebulat pipimu yang senantiasa tersenyum
Sebagai tanda syukur, kita telah melewati tahun pertamamu
Dengan segala kekurangan kami
Semoga engkau tetap bangga dan bahagia
Menjadi sahabat, kekasih dan harapan kami

Hari ini,
Kita bernyanyi bersama sekuat tenaga
Agar rumah menjadi ramai semeriah pesta
Walaupun isinya hanya kita berdua
Karena Ayah ada di seberang sana
Sekali lagi,
Semoga ini bisa menjadi memori indah
Kendati tanpa tempat mewah dan peserta layaknya pesta

Mari bersyukur, Sayangku
Kita rasakan hangat lilin di sini
Karena di luar sana
Masih banyak teman kecilmu yang tak pernah punya lilin
Untuk dinyalakan di hari kelahirannya
Hanya kilau lampu merah
Atau nyanyian sadis knalpot jalan

Selamat ulang tahun, Nak

Catatan untuk Sausan : Aduh, tepat saat ulang tahunmu, kamu demam hingga 39 derajad celcius. Ibu panik, Sayang.

Kamis, 06 Maret 2008

Joint with Orchid Hunter...




Foto : tim PAI Jakarta/Anggrek impian :Macodes /Phaius flavus (?)
Mereka menebarkan pesona yang misterius. Lambang seribu wajah yang mengundang para pecintanya untuk menggapai kuntumnya. Tersembunyi di bali seresah lantai hutan, terpancang di tepian tebing terjal hingga menerusup pada sisa daun busuk.

Orchid berasal dari bahasa Yunani yang artinya alat kelamin laki-laki. Pada jaman itu, mitos tentang anggrek menambah perkasa begitu kuat. Salepi dondurma merupakan salep ampuh jauh sebelum lahirnya Mak Erot. Sedangkan di Indonesia, lahirnya penggemar anggrek lebih sederhana. Berasal dari bahasa Sunda 'anggerik' yang artinya menempel (angrok).

Perkenalan saya dengan anggrek dimulai pada tahun 1999. Ketika Mapala (PMPA KOMPOS) mengadakan inventarisasi anggrek di Gunung Lawu. Selama sekitar 1 bulan, kami menarik garis transek dari lembah hingga puncak Jonggring Saloko (3.900 mdpl). Berawal dari sanalah saya 'tercebur' dalam komunitas yang oleh Eric Hansen disebut Orchid Fiver. Dendrobium jacobsonii yang tergambar dalam cover buku (impian saya..hiks) Orchids Of Java, JB Comber yang ingin kami temui saat itu. Hingga kami terpaksa lari terbirit birit ketika yakin mendengar suara harimau. Padahal sebelumnya sudah dibekali bagaaimana tata krama ketika ketemu harimau. Tatap matanya, jangan membuat gerakan yang mendadak..bla..bla...Dari semua langkah itu, yang paling praktis adalah lari sejauh kaki bisa melangkah heheehe (pa kabar Hery Azn, u remember?)

Beruntung, saya bekerja di tempat dimana hobi saya bisa tersalurkan bahkan termotivasi. saya bersukur, masih diberi kesempatan untuk mengunjungi anggrek di habitat aslinya bersama teman - teman di PAI Jakarta. Dari mereka, saya belajar banyak hal : taksonomi anggrek, persahabatan dan kegilaan.

Catatan untuk Sausan :Kamu hebat, Sayang...di ajak jalan-jalan enggak rewel. Pilek pun jadi sembuh. Aha..agaknya sudah mengalir 'darah' ibu neh. Hayo, Ayah ngiri tidak ? Kita jalan - jalan loh ke Telaga Warna. Btw, HAPPPY ANNiVersarY, AYAH!! March.06.2008.Be my our inspiration...