Kamis, 31 Januari 2008

TETANGGA SAYA MENGIBARKAN BENDERA SETENGAH TIANG


26 Januari 2008, hampir tengah malam,
'Loh kamu tidak tahu to, Mbak...kan hari ini Pak Harto wafat pukul 13.10," demikian kata adik saya yang masih kelas 1 SMP, yang tinggalnya nun jauh di Klaten sana. Perlu diketahui, adik saya itu menyampaikan berita dengan kutipan waktu yang tepat dan dengan nada menyalahkan. Ia menyalahkan saya, masak berita sebesar itu saya sampai tidak tahu. ditambah lagi, Pak Harto itu kan tinggal di Jakarta, sementara saya juga. Jadi kalau ada sesuatu yang terjadi di Jakarta, keterlaluan kalau saya tidak tahu. Saya tahu pasti apa yang dipikirkan adik saya. Bahwa Jakarta itu hanya selebar desa Jiwo Kulon (tempat adik saya tinggal) dimana hanya ada beberapa biji rumah. Dimana ada seekor ayam diare, 5 desa di sekitarnya akan tahu saat itu juga. Tak pernah terbayang di benaknya, bahwa saya tinggal di lokasi yang demikian tidak 'komunikatif. Barangkali kalau di samping saya ada yang meninggal, kalau meninggalnya bukan karena ledakan bom yang menggoncang rumah saya, saya-pun tidak akan tahu.

Demikianlah..ketika saya menyalakan televisi, saya melihat juga berita yang disampaikan adik saya. Tidak susah mencari kronologis peristiwa besar tersebut. dalam waktu singkatpun, 'pengetahuan' saya sudah setara dengan adik saya. Pastilah adik saya sekarang ikut terlarut dalam 'duka' ketika menyaksikan berita. Sementara saya tersenyum membayangkan teman - teman saya yang sudah hampir sebulan ini stand by di RS Pertamina. "Iya nih, saya sampai bed rest gara-gara nungguin berita.." kata teman saya, jusnalis yang lagi hamil. Setelah berita ini, dia sekarang cuti.

Pagi itu, sejak saya masih setengah terjaga...berita detail pemakaman mantan orang nomor satu di Indonesia itu disiarkan. Mulai dari pukul berapa diupacarakan, diangkut hingga ditaburi dengan pasir di Astana Giri Bangun. (tempat ini mengingatkan saya pada ikrar waktu saya masuk Mapala. Kalau ga salah, PMPA Kompos lahir di dekat2 sini. saya kok lupa nama lokasinya).

Ketika saya melihat sekilas prosesi pemakaman itu, semua orang berpakaian hitam. Lalu ada liang lahat dimana terbaring sosok yang puluhan tahun lekat bagi ingatan saya sebagai seorang presiden (sampai sampai kalau menyebut kata presiden itu artinya Pak Harto). Tokoh yang sedemikian terkenal, akhirnya juga terbaring di tempat sempit, gelap dan tertimbun tanah (bagi petugas makam, pastilah dia orang yang paling hebat karena bisa menginjak - injak tubuh Pak Harto disaksikan banyak orang).

Ketika saya berangkat kerja, ada pengamen. Agaknya pengamen ini selalu up to date. Sebelum menyanyi, dia mengatakan prolog bak Rhoma Irama yang mau nyanyi. Kurang lebih begini ' Hari ini kita bangsa Indonesia, kehilangan seorang pahlawan besar..PAK HARTO (kata ini ditekankan pengucapannya). Dulu jaman Pak Harto, segalanya mudah. Beras murah, makanan mudah didapat. Sekolah murah. Saya naik angkot ke sekolah saja hanya bayar 100 rupiah, sekarang 2.500 (kondekturnya mendelik...dulu 100, skr lu gratis..kira2 begitu). Jadi pegawai negeri gampang...sekarang susah..makanya saya hanya bisa ngamen. Katanya reformasi bla..bla..(saya males menuliskannya di sini)" Lalu si pengamen nyanyi '...o..oo..kamu ketahuan, pacaran lagi, dengan dirinya'Saya pun tersenyum...ketika adik saya menganggap Jakarta hanya selebar celana kolor, pengamen ini menganggap segalanya mudah jaman Pak Harto. Tanpa dia tahu, kenapa bisa mudah saat itu. Ingin rasanya saya katakan yang saya tahu tentang kenapa masa itu segalanya murah, kenapa masih ada yang dendam dengan dengan lelaki ramah itu, kenapa....Lalu bis 45 jurusan cimone - blok M yang bobrok minta ampun pun tetap melaju.

Begitulah, seperti kata Iwan Fals..dimana kusembunyi, namun senyummu slalu mengikuti..dimana-mana ada 'smiling general'.Hingga larut malam..hingga esok harinya dan esoknya lagi. Tadi pagi, saya dengar talk show di sebuah radio..begini :
'Jadi apakah kasus perdata Pak Harto bisa dilimpahkan ke ahli warisnya ?"
'Bisa. Tetapi harus ada sidang legal yang menetapkan siapa saja ahli waris Pak harto. Demi hukum, kita tidak bisa mengatakan kalau Pak Harto yang kita tahu anaknya 6 itu ahli waris. harus ada surat resmi bahwa 6 orang anak itu ahli waris'
(Saya tak tahu hukum, tapi sebagai warga biasa, bukankah akta kelahiran itu sudah merupakan bukti sah sebagai ahli waris ? Masak sih anaknya Pak Harto ga punya akte?)
"Lha..kalau anak belum tentu ahli waris, berarti masih butuh sidang lagi song untuk menetapkan siapa saja yang berhak mendapatkan warisan harga Pak harto ? ' tanya wartwan. Nah. loh!

Demikianlah, masih rumit dan berbelit -belit. Sayapun membuka jendela, kulihat, tentangga saya mengibarkan bendera setengah tiang.

Catatan untuk Sausan : Sayang, pagi tadi bunga hoya di depan rumah kita mekar. Ada 6 kuntum, kecil-kecil, bulat dan berwarna putih bersih. Dihiasi embun, bunga itu jadi indah sekali. Sayang kamu tidak melihatnya yah..Besok sore ibu mau ke Padang, ketemu ayah. Sausan titip salam tidak ? Minggu besok ya, kita ketemuan...miss u my litle sunset..

Kamis, 24 Januari 2008

18 Januari 2008



Pagi kala kabut masih menyelimuti, 18 Januari 2008...
Tanggal 18 Januari merupakan hari istimewa bagiku karena setiap tanggal ini selalu mengingatkan akan bertambahnya usia. Kali ini menjadi lebih istimewa karena pergantian dari kepala dua menjadi kepala tiga..hah ?! 30 tahun ! Gile...perasaan baru kemarin saya SMA. Kalau melihat orang tua saya dulu, 30 tahun kesannya tua banget...pas mengalami, kok ya belum merasa tua (dan memang harus begitu hehehe).

Terima kasih ya Allah, atas waktu yang telah Engkau berikan hingga hari ini. Semoga waktu yang Kau berikan tidak sia - sia...

Kadonya ? Hah..apa itu harus ? Saya sudah terbiasa untuk tidak berharap pada orang lain. Saya hanya memejamkan mata, bernafas sedalam - dalamnya, merasakan bahwa saya benar - benar masih diberi nafas hingga tambah usia saya, lalu menghembuskannya dengan harapan...semoga esok lebih baik. Itu saja.

Saya selalu mengingat apa saja yang terjadi di hari itu setiap tahunnya. Ibarat puzzle, 18 januari setiap tahunnya selalu menghadapi hal yang berbeda, warna yang berbeda. Kalau saya membaca catatan saya di setiap tanggal 18 januari, di sana tergambar 'pertumbuhan' saya. Jika tahun lalu ada tumpeng mungil dan tiup lilin dengan suami saya plus Sausan yang masih meringkuk di perut, kini saya hanya sendirian.

Lebih sendirian lagi ketika...
Pagi itu tetangga saya mengetuk pintu pagar saya. Seperti biasa, tentangga satu ini kalau mengetuk pintu pagar, itu artinya meminjam cangkul. Dari sekian tetangga yang berpotensi punya cangkul, dia lebih memilih cangkul saya. Bener saja, hanya kali ini alasannya beda. Bukan untuk menggali selokan, mencabut rumput dll.
"Untuk ngubur kucing teh..ada kucing mati kena racun tikus," katanya dengan logat sunda yang kental. Tiba - tiba perasaan saya jadi tidak enak.
"Kucingnya warnanya apa, Bu ?" tanya saya paranoid.
"Item sih," katanya chuek sembari menerima cangkul saya sembari berlalu
"Ada putihnya tidak ?" teriak saya panik.
"Ada sih," jawabnya sambil lalu. Bener ! Pagi ini, 18 Januari, Lemot tidak ada di depan pintu seperti biasanya. Tiba - tiba lutut saya lemas. Saya tidak berani mendekat. Dari jauh saya liat ada tubuh yang ditenteng dalam tas plastik putih. Saya yakin, itu Lemot...

Lengkap sudah kesendirian saya. Hanya kecoak, kipas angin dan air kran yang bergerak di rumah ini. Satu -satunya teman yang menemani, pergi karena kelalaian saya. Karena malam terakhir itu, saya masih ingat memegang tengkuknya untuk saya letakkan di luar karena teman saya yang kebetulan datang tak suka kucing.

Ketika saya cerita ke ibu saya, ibu saya malah tertawa. "Kan hanya kucing saja !" Memang hanya kucing, tapi kalau kucing itu teman satu - satunya, tidak lagi menjadi 'hanya'. Setiap kali saya pulang, ketika kucni pagar saya buka, saya selalu berharap ada yang nyelonong di kaki saya seperti biasanya. Tapi hal itu tak pernah terjadi lagi...Mr. Lemot, thanks telah menemani saya selama ini...

Catatan untuk Sausan : Sayang, apa kabarmu ? Gigimu sudah kelihatan belum ? Udah Bisa gigit apa ? Kau ingat Mr. Lemot ? Saat kamu umur 7,5 bulan di kandungan, Ayah dan Ibu ambil Mr. Lemot di warung kelapa hijau. Waktu itu susah banget membawanya, akhirnya diletakkan di kardus dan ibu pangku. Ketika kamu gera, Mr. Lemot meronta- ronta. Ibu ingat, sering kali kamu, Ayah dan Mr. Lemot berkolaborasi tidur di kamar biru. Ukuranmu sama Mr. Lemot hampir sama.Sekarang ketika kamu sudah merangkak, kamu suka nari-narik ekornya. Tentu saja Mr. Lemot pasrah. Sepasrah ketika racun tikus membunuhnya....Miss u, little sunset..

Senin, 14 Januari 2008

PAK HARTO, KURA - KURA DAN BATU

Beberapa hari ini, semua media (tak terkecuali media hiburan yang biasa membahas artis) sibuk memantau kesehatan Pak Harto. Bahkan teman saya hingga tidak pulang beberapa hari karena menunggu 'keputusan'. Sampai saat ini, Dia masih belum mengambil keputusan. Saya tidak tahu, apakah teman - teman saya akan terus begadang...

Melihat kondisi mantan orang nomor satu di negeri ini (yang waktu kecil saya-pun bercita-cita bersalaman dengannya, sungguh :) ), saya menjadi berpikir, apakah arti semua yang telah ia miliki ? Yang saya yakin, semua itu didapatkan dengan tidak mudah bahkan mungkin menyulitkan orang lain. Hingga di senja usianya, di samping malaikat maut, sebelum menghadapi pengadilan yang Maha Adil, dia masih harus menghadapi pengadilan kasad mata alias meja hijau.

Lantas, saya menemukan blog Mbak Dewi Lestari- yang penulis pinter itu- (www.dee-idea.blogspot.com). Ceritanya sederhana sekali, tentang anaknya - Keenan yang menumpulkan batu di pinggir selokan. Batu yang sudah banyak digenggaman tiba - tiba berantakan kala ia terpeleset. Betapa segala yang kita miliki bisa lenyap hanya dalam sekejap. Tak peduli bagaimana kita menggenggamnya, bahkan hingga tangan kita berdarah

Apalagi ketika 'batu-batu' yang kita kumpulkan itu didapatkan dengan merugikan orang lain, menginjak teman. Apakah itu sebuah kemenangan ? Saya ingat tulisan SGA di Kompas, Catatan Desember 'Kura-Kura'. Sederhana saja, intinya ada dua kura - kura yang bersaing hingga satunya mati. Lalu kura-kura itu sendirian di dalam akuarium. SGA hanya menanyakan Apakah arti hidup bagi kura-kura yang telah menguasai dunia itu, jika sisa hidup, yang barangkali masih akan lama, dijalani sendirian saja ?

Ah, betapa menyedihkan diri saya selama ini, ketika mengedepankan ego hanya untuk sebuah nama, sebuah kemenangan semu, sebuah pujian. Bukankah kemenangan yang sesungguhnya ketika kita bisa mengalahkan ego kita ? Saya masih harus belajar untuk itu.

Catatan untuk Sausan : My little Sunset, kemarin kakek mengabari ibu, gigimu sudah tumbuh dua di bagian bawah. Ibu mau menangis, ah...pasti kamu lucu sekali. Ayah juga seneng banget ketika ibu kabari. Maaf, Sayang..ibu sempat membandingkanmu dengan bayi yang lain, kenapa gigimu tidak tumbuh-tumbuh.

Jumat, 11 Januari 2008

YU HANI DAN PANGERAN KELELAWAR...

Senja dan kelelawar, suasana suram nan memesona yang selalu mengingatkan aku pada dirimu. Kala itu bulan Mei 2003 di base camp Sucen Purworejo, kita sama - sama membaca sesobek koran Kompas yang memuat cerpennya Bre Redana, 'Kembalinya Pangeran Kelelawar'. Ada kalimat yang menjadi ikon kita setiap kali bersua, entah itu nyata maupun di dunia maya. Kurang lebih kalimat itu berbunyi ' Dan akhirnya perempuan itu menikah dengan laki - laki biasa yang berdarah daging. Seorang buruh tambang di Wollongong. Kemudian perempuan itu menjalani hidupnya, memasak, mencuci ...Sesekali ia masih mengingat Pangeran Kelelawar. Hanya saja sudah tidak segalau dahulu.."

4 tahun berselang, kami bertemu di dunia maya. Ya, masing - masing dari kami-pun menikah dengan 'laki - laki berdarah daging'. Tapi kutahu, perjalananmu ecxiting. Sebagaimana umumnya perempuan desa, melewati angka umur 25 itu kegundahan keluarga bila belum menikah. Hahaha...kamupun menceritakan bagaimana kakakmu menjadi 'biro jodoh' berusaha mencarikan lelaki untukmu. Mulai dari punggawa desa dengan sawah berhektar - hektar, guru yang sudah diangkat dan jelas punya NIP (Nomor Induk Pegawai) dengan pensiun pasti hingga sodagar kaya yang punya selepan beras di mana- mana. Semua itu kau sambut dengan ngakak dan sedikit frustasi. Karena hatimu sudah tertambat pad seorang laki - laki terindah yang kau puja. yang tentu saja bagi keluargamu masuk kategori tak jelas juntrungannya.

'Dia itu indah sekali, Tik. Aku pernah dibacakan puisi-nya Sitok Srengenge, Kelenjar Betina Merah (- mungkin saya salah menjudulinya). Katanya - aku mencintai semua orang, apakah itu artinya aku harus menikahi semua orang. ha..ha..ha," katamu menirukan. Dan kitapun tergelak. Aku masih ingat, kau ucapkan suatu senja di tepi Parangtritis, lantas kita berfoto ala Charlies Angels. Di bawah foto itu kau tulis ' Mereka melihat sungai, kami melihat laut' Entah apa maksudmu.

Empat tahun berselang, akhirnya kamu menikah juga. Dengan lelaki baru yang belum pernah ada dalam perbincangan kita (ternyata waktu berlari begitu jauh yah..).Maaf saat itu aku tidak bisa datang karena bayi dalam kandungan sudah membengkak hingga 8 bulan (ini kamu, my little sunset). Aku sempat membungkus kado, namun tak sempat kukirim. Hingga kini, kado itu masih teronggok di meja...

"Yah akhirnya aku menikah dengan lelaki berdarah daging. Memang tidak mudah, Tik. Karena perkerjaan kami masih belum pasti.Ah, bagaimana kalau anakku lahir nanti. Iya, aku percaya, anak membawa rejekinay masing - masing kok. Tapi kamu tahu, aku sangat bahagia. Bisa mendobrak keinginan keluargaku. Aku bisa mempertahankan idealismeku, bisa menikah dengan laki - laki pilihanku. Hahaha..emosi'
"Eh, jangan bilang emosi...bilang saja karena idealismemu. Kalau begitu, langkahmu akan ringan..."
"Oh ya..karena idealisme.." katamu mengiyakan. Lalu kamu pamit mau sholat dan istirahat. Bayi dalam kandunganmu memintamu untuk istirahat.

Tak pernah kubayangkan..ternyata langkahmu teramat ringan seringan ruh...sangat ringan hingga kau terbang melewati dimensi tak kasad mata. Sehari berselang setelah pembicaraan kita, ada SMS yang mengatakan kalau dirimu kecelakaan dan gegar otak hingga tak sadarkan diri. Aku beusaha menelepon HPmu, dijawab oleh kakakmu kalau kamu masih kritis. Sehari kemudian, kau pergi mendahului...

Yu Hani..demikian aku suka memanggilmu. Karena namamu teramat singat, Istihani yang sering iseng kutambahkan dengan Nur'aini. Kamu hanya tersenyum kala itu. Senyum itu, kegilaan itu, mimpi - mimpi itu ...aku masih menyimpannya rapi dalam buku catatanku. Kalau catatanmu sudah berhenti, tapi kuyakin..kau masih ada untuk meneruskan catatanmu walau aku tak bisa lagi membacanya.Dan aku masih punya janji, untuk mengirimimu cerpenku yang bercerita tentang CAPRA. Satu lagi tentang Pangeran Kelalawar kita. Ketika kau tak lagi membacanya sendiri, aku akan datang membacakan di pusaramu. Yu Hani, kau takkan pernah pergi..

Dan kematian jadi akrab, seakan kawan
Berkelakar
Yang mengajak
Tertawa - itu bahasa
Semesta yang dimengerti
('Kematian semakin akrab' Subagio Sastrowardoyo yang dikutip Gunawan Mohammad)

Catatan untuk Sausan : Ibu kangen sekali, Sayang...senja di sebelah rumah kita semakin sunyi tanpa tawamu. Rumah kita terlalu luas untuk ibu tinggali sendiri. Kamar birumu masih menyisakan bantal mungil, boneka kura-kura hijau dan selimut kuning gambar kelinci. Sayang, wajah mungilmu tak menempati. Baik - baik di sana ya, ku kan kirim senja emas untukmu.

Selasa, 08 Januari 2008

PEMBOKAT CS PETUGAS BERSERAGAM

Pembantu oh pembantu...itu keluh saya di awal tahun 2008. Seiring dengan gemerlap kembang api yang mengiringi pergantian tahun, pembantu saya pulang dan tidak kembali lagi. perlu diketahui, sebelum dia tidak kembali, saya tidak pernah memanggil dan menganggap dia sebagai pembantu. Saya anggap dia sebagai adik saya. Oleh karena itu, dalam hal makan dan apapun, saya tidak pernah membeda-bedakan. Bahkan kalau meminta tolong untuk mengerjakan sesuatu, saya tidak setiap saat. Kalau dia sedang nonton sinetron kesayangannya, saya tidak pernah mengganggu. Walaupun itu terjadi dari senja hingga laut malam. Untung saya tidak begitu suka nonton tv, ya terserah.

Namun, kelonggaran yang saya berikan agaknya dimaknai lain. Si 'partner' ini semakin berani. Awalnya ia suka minta ijin ke rumah sodaranya saat saya libur dan belum kembali saat saya masuk kerja. Al hasil saya dirundung cuti yang tidak masuk akal. Aksi berlanjut menitip alat make up (yang sayapun tak pernah menggunakan), memakai barang-barang saya (ini mulai masuk ke privasi) hingga dimintai tolongpun bisa membantah. Masak menguras kamar mandi juga harus saya ? Pada suatu saat, menjadi sulit untuk membedakan siapa yang membayar siapa. Saya mencoba bersabar, yang penting anak saya bisa diasuh dengan baik.

Hingga puncaknya, ketika si 'partner' ini berlibur akhir tahun (sementara saya tidak ikut libur) dan puncaknya tidak kembali lagi. Menelponnya pun saat saya sudah akan masuk kerja, 1 januari 2008. yang menelepon simboknya, bahwa si partner tidak balik lagi karena mendapat perkerjaan baru. Tidak ada kata maaf atau kepedulian. Jadilah saya kalang kabut. Sekian keruwetan melembung di otak saya. Apalagi suami sedang di luar kota. Jadilah saya pontang panting sendirian. Bahkan saking puyengnya, saya sampai menjadi 'mengerti' kenapa ada pembokat yang dianiaya majikannya. Terus terang, saya juga tidak mendukung tindakan tersebut. Tetapi dengan kasus yang saya alami, saya menjadi tidak protes lagi. Mungkin ada sedikit kebiadaban terselip dalam hati saya.

Tanggal 2 januari, saya pun langsung ke stasiun Gambir untuk mencari tiket pulang ke ibu saya. Dengan menggendong anak yang baru berusia 9 bulan plus aneka pernik-pernik yang setas jinjing, perjalanan menjadi tidak mudah. Untung sepanjang jalan, anak saya tidak begitu rewel. My little sunset, you are the nicest girl in the world...

Kekecewaan itu muncul ketika saya mengantri tiket. Betapa repotnya saya dengan menjinjing tas besar dan harus menulis di kertas pemesanan lalu mengantri lagi. Saya bernisiatif menitipkan tas saya ke petugas berseragam biru di depan lokat yang amboy..gagah sekali (seperti cara Andrea Hirata mengatakan)
"Pak, tolong saya menitip tas saya. saya mau antri tiket" kata saya sembari tangan saya gemetar karena menahan beban anak saya yang lumayan berat di gendongan. dan Anda tahu jawabnya ?
"Jangan meleng, Bu...kalau ga pengin tasnya disamber orang. Jagain tuh, jangan naroh sembarangan !" Petentang petenteng sembari membenarkan letak topinya yang sudah benar. Beribu makian pengin muncrat membasahi wajah manusia itu (kukira dia masih manusia). Kok tega dia ngomong begitu ? Apakah dia tidak pernah digendong ibunya ? Apakah dia dilahirkan dari batu cadas di puncak Merapi ?

Dengan tas terseret, akhirnya saya mengantri tiket. Tangan saya semakin kesemutan karena anak saya mulai bosan. "Sabar, Sayang..kita sedang menjadi pesakitan yang punya uang ratusan ribu untuk nggaji si manusia berseragam itu dengan harga tiket yang mahalnya semau udel.."

Tidak jauh dari saya mengantri, ada dua bule yang kebingungan mengisi lembar pemesanan tiket. Tentu saja si bule takkan mengerti bahasa Indonsia. Dengan tertunduk - tunduk hormat sok ramah, si manusia berseragam itu mendekati untuk membantu dengan hormat. Kini kulihat lagi potret bangsaku, bangsa yang begitu silau melihat orang bermata biru. saya jadi berpikir, seandainya rambut saya merah dan saya pakai celana pendek, pastilah tas saya akan disangga di atas kepalanya tanpa saya minta..upsf

Dengan senyum pertanda keramahan dan begitu berwibawanya, si manusia berseragam biru itu mengatakan entah apa, saya juga tak tahu. Yang terjadi malah keributan yang berkepanjangan. Akhirnya saya tahu, si bule tak mengerti bahasa Indonesia, sementara si berseragam tak bisa bahasa Inggris. Dalam hati sayapun tertawa...oh, malang sekali nasibmu si seragam biru. Bule yang kamu sanjungpun tak pedulikan dirimu...

Samapi di sini saya hanya berkesimpulan, Tuhan begitu adilnya. Seandainya pembokat saya sedikit punya tanggung jawab, tentu dia tidak akan jadi pembokat. Seandainya saja si manusia berseragam biru tadi punya sedikit keramahan hati, tentu dia sudah menjadi jenderal. Jadi dengan kondisi yang 'jiwanya tidak lengkap, ada syaraf kemanusiaannya yang putus' memang dia tepat untuk posisi itu...(emosi heheheheh)

Catat
aan di balik layar : Sayang, ibu sangat kangen padamu. Suatu saat akan ibu katakan, sebagai orang miskin di negara yang miskin juga, ibu tak banyak pilihan. Ibu tahu, ini bukan yang terbaik tetapi inilah yang paling mungkin ibu lakukan. Ibu percaya, kau anak yang kuat..karena kau anak ibu...Ayah, baik - baik ya di sana...