Jumat, 30 Mei 2008

Lady of Heaven

Coklat dan kopi, perpaduan yang menawan

Seminggu ini, hidup saya serasa unik dan nyentrik. Dari mulai menunggu kepulangan suami saya yang katanya akan pulang minggu ini (Waduh, Sayang... datanya belum kelar dientry.Terus?Ya, ditunda awal bulan.Hiks. Ya udah deh, Mas... yang penting tidak menikah dengan gadis desa yang lugu dan lupa pernah nikah sama saya. O, santai saja...tidak banyak kok yang mau sama aku, kecuali kamu. Oh, syukurlah)

Masih berurusan dengan tunggu menunggu, seorang kawan (saya menyebutnya kawan saja,walo lebih tepat disebut 'suhu'alias guru)datang dari Prabumulih, Bang Sutan Iwan Soekri Munaf, datang ke Jakarta. Setelah menyesuaikan jadwalnya yang luar biasa sibuk dengan jadwal saya yang sok sibuk, akhirnya disepakati kita ketemuan hari kamis, 6 hari setelah beliau ada di Jakarta. Kebetulah ada mbak Fanny Poyk juga merencanakan bertemu. Entahlah, begitu semangatnya saya menunggu hari itu, sampai saya coret hari demi hari yang saya lalui (ini salah satu bentuk kesintingan yang kadang ga masuk akal).Akan banyak yang akan saya tanyakan. Akan banyak yang akan kami obrolkan. Tahu apa yang terjadi ? Tepat 24 jam sebelum hari H, kabar yang membuatku ternganga sekaligus ketawa "Aduh, Nduk... saya sakit xxxxx. Beneran,Abang tidak bohong." Sakit itu sengaja diberi tanda xxxxx,karena sakit ini memang benar sakit tapi sakit yang bikin ketawa orang yang mendengar. Setara dengan sakit gigi deh.(Bang Iwan, komentar Mas Gi'..Wan..wan, sakitmu kok memalukan gitu. Memangnya kamu ngapain aja hahahaha).

Di sela - sela tunggu menunggu, sayapun bekerja (sungguh kok, bos. Saya tetap wartawan telad-an hahaha)Di tengah kemelutnya harga BBM, demo mahasiswa (Heh, Rif..Arif Nurhayadi BEM Faperta 2000, masih idup kagak lu ?Jadi ingat, kamu ya yang menjerumuskan aku sampai terkapar tidur di bawah air mancur gedung DPR dengan uang Rp 9.300,- di jas almamater biru langitku itu, uang sisa beli mie ayam Pak Ho untuk menempuh Solo-jakarta. Awas ya kalau kamu ternyata duduk manis jadi pejabat. Gua kutuk ambien berat !!).Nah, pekerjaan saya itu meliput sebuah pameran bunga internasional. Persertanya para ibu kelas atas dengan sanggul menjulang (kata teman saya - lady coffe morning).Suasananya demikian megah, kontras dengan suasana di pagar gedung parlemen. Tahu enggak, pembaca yang budiman...saya tidak mimpi buruk malam sebelumnya, tidak melakukan hal yang tidak senonoh, kenapa hari itu sial bener.

Pertama, saya tidak dapat celah wawancara tokoh - tokohnya sama sekali. Karena memang tokohnya itu orang asing (bc Amerika). Alhasil, saya hanya mendengarkan dari luar ring sambil mencatat secepat mungkin. Ada ibu - ibu, one of lady coffe morning, menanyakan :
"Emang kamu tahu artinya apa ?" Oh huhuhuhu
"Ehmm...sedikit, Bu." Jujur saya jengkel berat. Tampang saya memang khas Klaten (The megapolitan city hehehe), tapi untuk mengerti ucapan bule, apalagi tentang po'on (bc: taneman) tidak sesulit saya mengartikan teks original sajaknya Shakespeare. Tetapi kejengkelan saya mendapat jawaban saat itu juga, ketika si bule justru mendekati saya dan saya bisa wawancara dengannya, lamanya dua kali lipat waktu yang dijadwalkan untuk wartawan lain. Bule itu mau menerima siapa saja, tak peduli tampang. Apakah ini yang membuat negara lain melangkah lebih cepat dari negeri ini ?Bahkan secara enggak sadar, justru saya beri tahu lebih banyak ilmu tanaman daripada si bule itu. Hah, look at me. Im Indonesian people, agraris country. I proud of my self as a farmer. Really farmer, not Indonesian Farmer Society (bc : HKTI/Himpunan Kerukunan Tani Indonesia)
"Oh, kamu bisa juga toh ngomong sama dia. Tahu betul kamu tentang tanaman" komentar ibu itu. Ah, telat bu...ini ni Bu, tampang Klaten, tampang po'on!

Ada satu lagi hidup saya yang berwarna minggu ini. Ketika saya bertemu dengan seorang kawan (kali ini saya takkan sebut namanya) di sebuah diskusi para sastrawan hebat. Seorang kawan yang mengaku pernah kena pelecehan seksual. Lalu menjadi trauma dengan laki - laki. Pelampiasannya justru dia bisa jatuh cinta dengan lelaki yang usianya jauh di atasnya, sangat jauh, bahkan kalau diusut itu seusia dengan kakeka saya. Bayangkan kalau laki - laki yang pernah dicintai itu kini usianya 77 tahun. Ia mencari figur pelindung. Saya benar - benar tak menyangka, dia yang tulisannya begitu berat, di majalah sastra yang berbahasa berat, hidupnya berat juga. Dia yang wajahnya tak berdosa, polos dan begitu belia (ternyata seumurku).

Tiba - tiba saya menjelma menjadi dirinya, bagaimana saya dulu pernah begitu terpesona dengan 'dunia intektual' yang mengawang - awang. Ranah ideal yang diobrolkan hingga ampas kopi-pun tertelan hingga butir terakhir. Saya pernah hidup di sana walau tak persis sama. (Sekali lagi Rif, kalau kamu baca tulisanku ini, dimanapun kamu berada, tapi kuharap bukan muncul di Patroli ya, kamu harus berjanji untuk mengembalikan 'hidup saya' yang kau comot hingga terdampar di perempatan Gladag, lengkap dengan slogan - slogan 'sinting' itu, hah!)Kesimpulannya, kalau mau 'sembuh' dan 'normal', come to the riil world. Standing on the earth. Stop be lady of heaven...

Tetapi satu yang aku acungi jempol dari kawan tadi, ia tetap berdiri. Selalu membuat dirinya bersinar. "Gue ingin tunjukkan, Tik...gue tetap ada. Gue tetap layak dihargai dengan karya - karya gue, bukan dikenang dari masa lalu gue. Soalnya kalau gue mo nuntut pada orang yang melecehkan itu, sama saja gue bunuh diri. Dia pegang kartu As gue." Saya jadi beku. Kau hebat, kawan...

Catatan Untuk Sausan :Sayang, kini kamu mulai tahu siapa ibumu. Makanya, setiap ibu berangkat kerja harus pakai ritual : menggendongmu hingga pintu gerbang, cium pipi kanan, cium pipi kiri lalau kamu bilang daaaaa sambil memutar pergelangan tangan kirimu.Jadi, ibu enggan pergi. Btw, Sayang...ada puisi indah yang ditulis oleh penyair hebat di negeri ini, hanya untukmu, Sausan. Kalau sudah tahu, akan ibu kasih tahu. Ayah saja enggak punya loh...

Kamis, 22 Mei 2008

Prolog

Untuk sebuah nama
Yang tak seharusnya kusebut kembali
Sayangnya, ingatan tak butuh keharusan

Maka,
Ijinkan aku mencuri secuil inspirasi yang menjalari jejaringan syarafmu
Ijinkan aku tetap membingkai diskusi hebatmu dalam folder-folderku
Ijinkan aku memupuk imagi tentang bumi yang hidup dan menghidupi

Percayalah,
Aku tak bermaksud mengusikmu
Kukagumi dirimu beserta planet yang berporos padamu
Dalam harmoni sistem semestaku dan semestamu
Kaulah… matahari di tata surya galaksi tetangga
(Folder F)

Senin, 19 Mei 2008

Folder yang terserak


Cinta adalah gugusan rasa
Bukan persenyawaan antar molekul-molekul
Cinta tak butuh medium
Kendati hati adalah tahtanya
Namun cinta tetap tak teraba
Kau pernah mendengar kisah perang Bubat ?
Bagaimana kau jelaskan jika peristiwa berdarah itu
Terlahir karena cinta Hayam Wuruk pada lukisan Dyah Pitaloka
Hanya lukisan, bukan wujud nyata
Sungguh aku menyayangimu

*****

Entah mengapa
Rasa itu datang begitu saja
Bahkan sebelum pertemuan kasat mata

Sungguh aku menyayangimu
Sebagaimana aku sayangi setiap serpih waktu bersamamu
Sebagaimana aku sayangi tiap inchi panjang gelombang suaramu
Sebagaimana aku sayangi setiap butir loncatan neron otakmu
Sebagaimana aku sayangi tiap denyut aortamu

Meski aku tak lagi bisa genggam tanganmu
Atau sekedar menyapa 'Apa kabar, matahari pagiku'
Meski aku tak bisa miliki kehangatan bincang kita
Atau sekedar menyapa 'Apa yang sedang kau risaukan saat ini ?'
Meski aku tak pernah bisa dan tak pernah ingin
Memiliki jasadmu...
Bisakah kau lupakan sebentuk raga, sebentuk perseteruan
Lepaskan segenap jubah aturan, komitmen, konstitusi, konspirasi
Meleburlah bersama Yang Maha Lebur
Di sana ranah material bukan lagi kendaraan
Karena roh tak butuh tumpangan

Sungguh munafik bila kukatakan
'Aku tak mencintaimu'
Karena itulah aku dalam ambigu
***

Hahaha...Anda sudah baca kalimat melow di atas ??? Saya sungguh senang sekali menyampaikan pada Anda. File itu sempat saya kira lenyap, tapi berkat bantuan teman (Mas Fajar, memang kau harus menraktir ayam bakar agar ide kreatif itu muncul lagi hahaha).

Ceritanya begini, tahun 2004 saya mencoba menulis novel. Dengan tertatih - tatih, dalam 2 tahun draft itu kelar, sekitar 190-an halaman. Sempat saya print untuk dikirim ke penerbit ternama, dan ditolak habis. Setelah itu, saya biarkan 'anak manis' itu teronggok di antara buku - buku dan berdebu.

24 Maret 2007, anak saya lahir. Malam itu juga, rumah saya kebobolan dan semua barang lenyap kecuali kulkas dan Mr. lemot (kucing saya yang sekarang sudah almarhum karena kena racun tikus tentangga). Yang paling nyesek di antara sekian barang yang lenyap adalah lap top dan kamera. Bahkan karena itu, suami saya menyampaikannya dengan berliku -liku karena dia tahu betul saya saya menyayangi benda itu.

Tetapi kala itu, saya tidak merasa begitu kehilangan karena sibuk bahagia dengan kelahiran anak saya. Tetapi begitu sadar, bahwa hilangnya lap top itu artinya hilangnya data yang ada i dalamnya, termasuk novel yang saya tulis selama dua tahun itu. Lunglai sudah dan saya sempat tidak mau lagi mengingatnya.

Dua hari yang lalu, Mas Fajar (dan sekeluarga : Mbak Rika, Faya dan Faza...haha kalian sudah besar yah). Menraktir ayam bakar khas solo. Saya jadi ingat waktu tulisan saya di Suara Merdeka dimuat, dengan semangat saya berniat traktir Mas Fajar makan di ayam bakar bu Broto yang terkenal itu. Ternyata dompet saya ketinggalan..hehehe

Sebelum berangkat, dia mengingatkan saya bahwa saya pernah kirim draft novel itu via email. saya sendiri sudah lupa pernah mengirimnya. Mas Fajar yakin, saya mengirim banyak bab.Tetapi pas dicari - cari tidak ketemu.

Tadi sore, saya telepon Bang Iwan sekedar ngobrol ngalor ngidul. Sampai akhirnya saya ingat kejadian yang berkaitan dengan novel itu. Saya cari lagi di komputer kantor...foleder itu masih ada !!! 90% naskah itu tersimpan rapi di dokumen yang sudah sekian lama tidak dibuka. Saya sujud sukur...

Catatan untuk Sausan : Ayah, sekarang adik semangat menulis lagi. Tunggu ya, kalau ayah pulang akan adik bacakan satu novel hahahaha.

Bogor Style, hah ?!


Jumat yang cerah, di seputaran Ciawi.
Saya heran, kenapa minggu ini diliputi urusan dengan palak memalak para stakeholder angkutan. Baru Senin lalu, saya berurusan dengan becak di Palembang, kini saya berurusan dengan tukang ojek di Sukamanah, sekitar 30 km dari perempatan Ciawi.Walaupun secara geografis beda dengan Palembang, tapi secara esensi sama.

Berawal ketika saya sampai Pasar Cibedug, mau menuju ke Kebun Bunga Pak Benny (tempat yang selalu aku suka karena hamparan bunganya serasa di Eropa). Saya naik ojek setelah tawar menawar dengan jelas (saya enggak mau ketipu lagi). Disepakati harga Rp 4.000,- (empat ribu rupiah). Jalur yang harusnya ditempuh 10 - 15 menit, muter - muter enggak jelas,saya diberhentikan di villa dengan pagar tinggi dan bersemak belukar.
"Ini kan tempatnya ?"
"Tempat apaan ? Saya mau ke Kebun Politani, Kebun Bunga Pak Benny...bukannya tadi bapak bilang tahu ?"
"Loh...kan ini, yang saya tahu ini "
"ini kan bukan kebun bunga pak benny, ini villa dengan bunga liar. Saya enggak mau cari kamar, Pak. Tapi mau cari berita ?"
"Dari tadi yang jelas dong,Mbak...kalau ke Politani mahal, jauh."
"Ya jauh dari sini. Bapak sudah muter - muter enggak jelas."
"Bukannya gitu, mbak..jalan biasa rusak. Kalau ke Politani mah 35 ribu"
"maksud bapak apa ?" Perselisihan kembali alot.

NO WAY ! Saya enggak mau ketimpuk dua kali dalam seminggu. Kali ini saya tahu betul wilayah ini, saya enggak dikejar dedline..jadi saya bisa mikir jernih.
"Begini aja deh, Pak...kalau Bapak ngotot saya harus bayar 35 ribu untuk sampai kebun politani, dan saya enggak yakin Bapak bisa sampai sana. Balikin saja saya ke tempat semula. Jadi anggap aja bapak enggak pernah ngojekin saya." Dilihat dari wajahnya, Bapak itu mengisyaratkan 'Coba saja kalau berani, dijamin ga ada ojek lagi' Saya pun tersenyum simpul.Bodo' ga da ojek ya telepon nara sumber, minta dijemput.

Sesampai di pasar cibedug, Bapak itu senyum penuh kemenangan. Lalu berulangkali nawarin lagi untuk dianter. Sorry..borry morry...saya malas berurusan denganmu lagi!
Tak berapa lama, ada yang lewat. Tukang ojek junior. Masih kecil dan terlihat belum ahli naik motor. Demi menjadga gengsi, saya pun say goodbye dengan ojek senior tadi. Lihatlah, siapa yang menang ?

Tapi resiko dari jaga gengsi pun tidak mudah. Ternyata ojek yunior memang serem, apalagi jalannya sempit, nanjak dan berkelok. Wah, kalau sampai kejeblos di jurang pinggir jalan...benar - benar bukan cerita menarik. Akhirnya saya ajukan solusi..
"Dek...biar saya saja yang di depan" Begitulah, tidak jelas, siapa tukang ojek siapa penumpangnya. Jalan menanjak bukan masalah bagi saya mengingat dulu pernah kejar kejaran dengan polisi di sepanjang Slamet Riyadi Solo hingga akhirnya polisi berkomentar " Kuliah di pertanian ? Kenapa tidak jadi pembalab saja" hahahaha

Di akhir cerita, saya tidak jadi kehilangan Rp 35.000,-...tapi malah si ojek junior enggak mau dibayar. ya karena kasihan, saya ajak makan cilok (semacam siomay) karena saya kelaparan setelah 'berdiskusi' dengan si tukang ojek senior.

Hahaha..this is Sukamanah Style...

Catatan buat Sausan : Sayang, Indonesia tak seramah dalam cerita. Kemanusiaan begitu mahal harganya. Koruptor tak hanya didominasi oleh pejabat, tetapi siapapun bisa melakukan. Kalau mengingat ini, Ibu menjadi menyesal..kenapa dulu harus merelakan tidur di bawah air mancur Gedung MPR DPR demi menyampaikan tuntutan rakyat. Rakyat yang mana ? (seorang kawan ibu pernah mengatakan, kalau orang kecil korupsi untuk makan. Jadi lebih bisa dimaafkan. Benarkah ?)

Senin, 12 Mei 2008

THIS IS SOUTH SUMATERA STYLE, NDUK..







Itu yang dikatakan Bang Iwan (Sutan Iwan Soekri Munaf), penyair yang tanpa sengaja saya temui di Palembang. Mungkin ini cara Allah mempermudah liputan saya, hingga Bang Iwan dikirim-Nya untuk menemani saya ke pelosok Muara Enim. Kalau dilihat dari plang hijau penunjuk arah, Palembang - Muara Enim sejauh 186 km. Tapi karena saya masuk ke pelosok2, speedometer mobil menunjukkan angka 380 km PP. Dari jam 9 pagi sampai jam 10 mlm.

Bagi saya, meliput suatu daerah, bertemu dengan orang - orang di pedesaan selalu memberikan pelajaran hidup tersendiri. Kali ini saya bertemu dengan petani nanas palembang (yang sebenarnya nanas Prabumulih), Bpk Narman dan keluarganya. Perlu ada catat, untuk sebuah nanas yang dari Pak Narman dijual Rp 1400, dibutuhkan waktu 18 bulan menunggu buah nanas masak di pucuk pohon. Selama itu, Pak Narman harus menjaga nanas - nanas itu dari serangan babi hutan. Alhasil, ketika nanas mulai berbuah, Pak Narman menjaga di malam hari. Menjaga di pos hansip komplek rumah itu saja sudah cukup menjengkelkan, Pak Narman ini harus berdiam diri di gubuk panggung yang dibangun di tengah kebun nanas, 2 km dari perkampungan. Berdiam diri,hanya ditemani nyamuk..tak tanggung - tanggung, karena Muara Enim daerah rawa, nyamuknyapun berlabel malaria.

Dengan upaya kerasnya, Pak Narman bisa menghidupi anak - anaknya. Salah satunya Minah yang mengantar saya dan Bang Iwan ke kebon. Minah ini gadis usia 14 tahun, kelas 3 SMP yang ramah dan malu - malu. Dia yang menjadi penerjemah wawancara saya dengan ayahnya. Melihat antusias Minah, saya ingat masa kecil saya seusianya. Pas saya tanya, Minah kamu suka baca ? "Suka..suka banget'. Novel apa yang kamu baca ? "Buku Pelajaran Bahasa Indonesia'. Oh...
Liputan itu sampai malam,Bang Iwan mengantar saya ke sentra duku Palembang (yang sebenarnya duku Muara Lawai, ini masuk Prabumulih). Selesai liputan jam 5 sore. Saya berniat mencari travel karena saya rasa Bang Iwan sudah lelah nyetir plus masuk - masuk kebon nanas.

"Heh...this is South Sumatra, Nduk. Bukan Kebon Jeruk. Sudah, saya antar kamu sampai Palembang. Mana bisa aku melepasmu." Awalnya, saya hanya menganggap perkataan itu hanya bentuk perhatian bagi seorang kawan yang datang dari jauh. Hari ini, saya merasakan what kind of South Sumatera Style.

Sehabis wawancara dengan walikota Palembang (yang telah 3 hari bikin janji selalu gagal), saya naik becak mau mencari internet. Si tukang becak sebut saja namanya Mr.Borokotok bilang tigo setengah karena warnet dekat. Naiklah saya dengan gembira. Kayuh demi kayuh, kok saya masuk pasar kumuh (yang saya yakin warnet takkan cocok dibangun di sini), perumahan padat (yang saya yakin juga, tidak ada potensi bikin warnet) dan entah apalagi.

Saya mulai curiga, dan akhirnya saya minta berhenti di tengah jalan. Begitu saya kasih 7000 (dua kali tigo setengah) Mr. Borokotok. minta tujuh puluh limo ribu. Ternyta tigo setengah itu kamuflase untuk 'memeras; sebagai 35 ribu. Mangkel, dongkol, panik diburu deadline, pertengkaran panjangpun berlangsung. Sampai ada bapak - bapak (yang ternyata polisi) mendekati kami. Beliau mau bayar ongkos kalau kurang. Tapi saya gengsi (ini nih sok), makanya saya bilang ke bapak itu kalau everything is oke. But I'm wrong. Saya bayar 35 ribu. ini karena Mr. Borokotok dari awalnya mencak - mencak mengaku bekas napi (I dont care, semakin jengkel saya. Kalo bekas napi, tulis aja di otobiografi lu!Nah, yang bikin saya jatuh Mr. Borokotok Van Napi ngaku menghidupi anak istri bla..bla..bla. ini membuat tiba-tiba saya ingat Sausan, anak saya yang keriting, lucu dan imut di rumah sendirian. Ikhlaslah saya kasih 35 ribu walau ia masuk memelas minta terus.Doa saya, ya Allah, kalau Kau pengin menciptakan lagi makhluk, jangan lagi yang seperti Mr. Borokotok ini.

Begitu Mr. Borokotok Van Napi pergi, saya duduk di pinggir jalan, lunglai dan mendadak lapar. Bener - bener kelaparan karena ternyata saya makan pagi di hotel hanya sebiji model (istilah lain untuk empek - epmepk yang menjadi menu selama 3 hari ini). Datang tukang becak yang baik hati mengatakan, 75 ribu itu pemerasan.Harusnya tadi adik panggil kami. Bbbrhhhh...bagaimana saya bisa percaya, sesama tukang becak ?
"Wah kalau dari Pak Wali, kenapa adik ga tanyo tanyo. Adik kan wartawan (press card masih melilit di pinggang saya) bla..bla.

Iya ya..kenapa wartawan kok tidak nanyo - nanyo? Sebuah pelajaran hidup bagi saya di kota ini, wartawan itu harus tenang dan menerapkan 5 W 1 H
What...75 ribu WHAAATTTT?
Where..dari Kantor Walikota - dekat Hotel duta itu cuman 10 ribu maksimal
Why...sompret, nape lu meres orang dompet tipis, cewek, kecil lagi
When...saat orang lagi berlomba dengan detak waktu deadline, tega teganyo
Who...Mr Borokotok bekas napi ? Di Jakarta malah bekas mayat (katanya rumah kebakaran dan dia ikut kebakar, tapi kok idup lagi)
How...modus kejahatan lu memanfaatkan logal lokal Palembang bakal dikutuk sama Raja sriwijaya, jadi pelengkap candi Borobudiur, sungguh,

Ya, South Sumatera Style...different with Kebon Jeruk Style.

Catatab buat Sausan : Sayang, kamu baik - baik saja ya. Maaf Ibu belum pulang hari ini karena pesawat belum ada. Kamu hati - hati ya, I miss u much...Ayah, Ibu berdiri di jembatan Ampera, nanti fotonya disandingkan di Jam Gadang yah...tapi sayang, ga da ayah di sana :)