Kamis, 25 September 2008

Mamma Mia...'sinting' di masa tua !





Kemarin sore, saya melakukan tindakan yang tak masuk akal. Tetapi untunglah akhirnya justru menyehatkan akal.

Mbak Fanny Poyk tiba2 ngajak ketemuan, katanya ada temennya yang mau nraktir nonton ABBA. Saya tegaskan sekali lagi, bener ga saya juga dibayarin ? Bener. Kan tiket konser artis bule gitu mahal. Enggak kok, cuman 30 ribu. Yakin ? Jangan - jangan kita nonton di bawah drum. Enggak, bener...nonton di Megaplex. walah, itu mah pilem, bukan nonton ABBA. Iya..ABBA dalam film hehehe

Begitulah, pukul 15.00 saya sempat ragu. Berangkat enggak ya tatkala menimbang pekerjaan yang bejibun tiada tara (Aduh...mau libur nasional seminggu aja bayarannya mahal bener)Akhirnya, menimbang kepala yang sudah berat dan butuh ketawa ngakak..saya pun berangkat dan berniat balik lagi ke kantor untuk menyeleseikan tulisan. (Saya sedang mengedit tulisan untuk acara di Bali dan duh...terkadang daripada mengedit mending menulis sendiri).

Begitulah, akhirnya saya tunggu Mbak Fanny di TKP yang dimaksud. Sebuah lokasi yang menurut saya begitu mewahnya. Dan saya selalu merasa berdosa, tak nyaman, dan pengin secepatnya kabur dengan lokasi seperti ini (dasar berpribadi miskin hehehe). Saya duduk di pojok, sembari melihat orang lalu lalang. Mbak - mbak cantik2, bajunya minim - minim (oh, khusus untuk hal ini di sini sangat efisien, sehingga tak perlu merasa berdosa dengan kere yang tak mampu beli baju). Lalu banyak wartawan (ya saya mengenali mereka dari atribut dan pembicaraan : seputar deadline. Aduh..kepalaku jadi berat). Banyak wartawan itu menandakan mau ada premier film (ternyata Laskar Pelangi).

Mbak Fanny datang. Temannya Mbak Fanny, namanya Bu Sasi pun menepati janjinya untuk membelikan tiket. Ya benar, 30 ribu ! Tapi mak...yang membuat saya sesek (dan ga rela), untuk bekal berbuka pas nonton film (karena pas maghrib pastilah film sedang diputar, maafkan saya ya Allah, sedikit tak bertaqwa), saya beli sebotol air mineral . Dengan kalem, Mbak kasirnya menyebut angka Rp 13.350,- Byuh. Serasa nyesek. Coba tadi beli di kaki lima, maksimal Rp 2.000,- Kalau di sini Rp 5.000,- gitu masih maklum, lha ini 6 x lipat. Kejem !! Mau saya kembalikan, tapi kok takut..bukan takut dituduh miskin, tapi takut dipelototin Mbak kasir.

Mbak Fanny senyam senyum Pun ketika seorang sales kartu kredit menawarkan jasanya, dengan elegan Mbak Fanny menolak. begini kalimatnya :
"Wah, saya tidak mau lagi ikut yang begituan "
"Lah ini kan menguntungkan bla..bla..bla (yang ditawari hanya Mbka Fanny, bagaimanapun dia masih nampak kaya daripada aku hahaha)
"Maaf Mas, saya gak punya tabungan sama sekali. Saya kan pengangguran (dengan menepuk dada, tanpa beban justru malah bangga). Nanti kalo ikut, ga bisa bayar, dikejar kejar tuh sama depcolector yang badannya gede (sembari mengangkat kedua tangan posisi Ade Rai)" Salespun pergi tanpa basa basi.

Film pun diputar. Yang menonton sedikit. Kami telat 10 menit.
Waw...itu film kereeeeen, sinting, menghibur. Saya takkan menceritakan detail. Yang jelas pemainnya semua emak2, Merly Streep (bener ga ya nulisnya) yang aku ingat main di Adaptation. Terus si bapak ganteng Piere Brosnan (ga tau ini tulisan bener ga). Mereka begitu energik, sinting cerdas dan...jadi mamma (emak, simbok, ibu) tetap bisa bahagia, muda dan menyenangkan.

Bagi sesama kawan yang memang tak bisa menjadi ibu yang lembut nan halus sebagaimana di sinetron dan uang lima rupiahan (tempo dulum, si ibu berkebaya)Tetap bisa menjadi ibu yang baik (plus harus menonton Mamma Mia..bukan promisi, tapi ini menginspirasi). Jadilah teman bermain dan berjalan - jalan (mendaki gunung ..), jadilah sahabat tempat curhat...bagi anak - anak kita. Kami pun tertawa, beban masing - masing seringan kapas.

Thanks ya Bu Sasi, Mbak Fanny...for exicting moment !Sausan, senja mungilku..terkadang ibu merasa cepat tua begitu melihat kamu semakin tumbuh. Tapi film itu menginspirasi ibu untuk tetap menjadi temanmu, kapanpun. Dari kini kita menyanyikan 'Gembira Berkumpul-nya Tasya' sembari jingkrak jingkrak di atas kasur, atau main lempar-lemparan tepung kue (kue kosong dan berbau sangit, toh kue enak bisa beli di toko..kebahagiaan itu ga bisa dibeli)sampai nanti kamu dewasa dan butuh sahabat untuk curhat. Just say..SOS !!

Catatan untuk Sausan : Aduh, Sayang..Mbake dah mudik neh, ibu jadi pontang panting. Jadi sebaiknya kamu tak usah protes kalo bubur bikinan ibu tak seenak Mbake sebab buru2 bikinnya. Yang penting bergizi dan penuh sayang, itu pasti !Kalau mau ngompolin Ayah..yang basah sekalian semuanya, jangan tanggung - tanggung yah!

Kamis, 18 September 2008

Dulu Kau Ada


Dulu kau ada,
Menyaksikan langit yang berlahan gelap
Kabut berat turun menjadi mendung
Tanah gelap tapi hatiku terang

Dulu kau ada,
Ketika tampias gerimis membasahi sweater merah jambu
Kau hapus lembut dengan T shirt yang kau kenakan
Hangat berlahan menjalar
Dalam gigil aku dan kau

Dulu kau ada,
Untuk selalu mengatakan jalan tak jauh lagi
Kau genggam erat jemari
Kakiku pun lebih berdaya melawan luka

Dulu kau ada,
Untuk meyakinkan aku
Bahwa aku yang terbaik bagimu
Kau memang yang terindah untukku

Kau adakah, kini ?

Mendung di Telaga Warna,
Rain Lalu

Selasa, 09 September 2008

Tatkala Mbok Sri Bertemu Super Toy


"Kanggo Mbok Sri, iki sekul pethak gondo arum, pisang ayu, jongkong inthil.Kanggo Ki Dadung Awuk, saiki Mbok Sri wis ngancik dewasa, keparenga takboyong.."
(Untuk Mbok Sri, ini nasi putih nan wangi, pisang mulus, jongkong inthil (makanan tradisonal dari ketan). Untuk Ki Dadung Awuk, sekarang Mbok Sri sudah dewasa, ijinkan saya bawa pulang..)

Dengan kemenyan mengepul, mata terpejam dengan khusuk, seorang nenek tertatih menyusuri pematang sawah. Urat rentanya seakan mendapat energi lebih dari padi keemasan yang sebentar lagi dituai.

Barangkali Anda yang tinggal di kota tak mengenal adegan di atas, upacara wiwit yang dilakukan sebelum panen. Dulu waktu saya kecil, saya begitu semangat membantu (tepatnya ngrecokin) nenek saya (RIP)dengan upacara wiwit. Saya senang sekali waktu itu karena bisa makan nasi dibungkus daun pisang di tengah sawah, tanpa cuci tangan, bersama teman2 di desa yang 'klumut' (lusuh). Keharuman nasi itu masih teringat hingga sekarang..

Masyarakat Jawa Tengah, termasuk nenek saya sangat menghormati Mbok Sri (Dewi Sri) sang dewi padi. Mereka memperlakukan malai badi laksana rambut sang dewi sehingga disediakan cermin, sisir dan minyk rambut. Tak hanya sebatas 'kesintingan' yang tak masuk akal, tetapi kesabaran menunggu hasil panen. Padi jaman dulu (sebelum dikenalkan dengan IR)panennya hanya dua kali setahun. Oleh karena itu beras adalah barang mewah. Namun bukan berarti mereka lapar. Ada singkong dan jagung (yang juga varietas tradisional) yang bisa dimakan. Kala itu, mereka tak merasa miskin karena hanya makan singkong.

Lalu padi menjadi makanan yang wajib dikonsumsi. Makan singkong identik dengan kampungan (baca : terbelakang) dengan sebutan Anak Singkong. Makan jagung disebut sebagai kekurangan makan. Lalu Mbok Sri-pun 'dipaksa' secepatnya untuk segera dewasa. Mbok Sri yang cepat dewasa itu akan menghasilkan banyak beras dalam waktu singkat. Harusnya masyarakat tak lagi lapar.

Namun sayang, Mbok Sri jual mahal,tak lagi kenal dengan nenek saya dan juga orang2 dusun lainnya. Ia pindah ke menara gading. Tak semua bisa mengakses beras. Ketika singkong dan jagung dianggap makanan rendahan, masyarakat justru makan nasi aking. Saya kira itu dulu hanya dimakan oleh bebek. Padahal bebek kalau tidak digembala di sawah, akan mandul ga keluar telur kalau hanya makan nasi aking.

Di tengah kelaparan itu,banyak pihak mengajari masyarakat untuk mimpi dan budaya instan. Indikasinya, sinetron lampu ajaib dengan jin yang bisa mewujudkan segala keinginan laris manis. Ikut bisnis mudah hasilnya jutaan rupiah. Segalanya mau cepat, siap saji, tak perlu susah.

Begitulah Super Toy menjadi mudah diterima. Karena padi Super Toy mewakili sesuatu yang cepat dan siap saji. Masyarakat sudah terlanjur hidup dalam mimpi. Pemerintah tak mengajari untuk hidup nyata dan lebih cerdas.

Jika Nenek saya masih ada, saya yakin dia akan selalu setia untuk permisi dulu dengan upacara wiwit ketika akan memboyong Mbok Sri ke rumahnya. Mbok Sri pun tersenyum, dan takkan menjauh dari nenek saya, para petani itu...