Jumat, 31 Oktober 2008

Seroja dari tanah dewa

Bisik angin di kejauhan
Menerbangkan rambut kuningmu bersama misteri pasir
Kau kirimkan biru matamu untuk menemaniku
Di sebuah pulau asing yang menjadi surga bagimu

Sekuntum seroja jatuh di tanahku dan kau berdiri
Tegap tubuhmu membungkuk laksana ksatria berkuda putih
Sejenak kau timang bunga yang sudah puluhan tahun kukenal
Dari jemari porselenmu, serojapun terbaring di telapakku

"Mahkotanya ada 10 helai.
Apakah kau sempat menghitungnya ?
Susunannya menyebar seperti spektra cahaya
Apakah kau bisa merasakan keindahannya ?
Dia hanya ada di tanah ini, tidak di belahan bumi manapun
Tidak juga di tempat matahari tenggelam dimana aku berasal
Kau tahu itu ?"

Seroja di tanganku,
Tiba - tiba berkilau bagai sejuta kristal Swarozki
Harum melebihi parfum Perancis
Lumer mengalahkan kelembutan Haagen Dazs
Benarkah ini seroja yang kemarin ?

Aku yang memujamu
Aku yang ingin menjadi dirimu
Aku yang silau oleh segala yang ada padamu
Hingga lupa pada diriku, tanahku
Bagimu, aku adalah permata Asia yang akan selalu berkilau
Jika aku tetap menjadi aku

Sanur, 21 Oktober 2008

Minggu, 26 Oktober 2008

Dari PakThorsten,Saya Belajar tentang Indonesia...





Setiap tempat yang saya singgahi, pada momen yang tak diduga, saya menemukan sebuah nilai hidup. Kalau dalam istilah pewayangan semacam Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyyu. Secara sederhana diartikan sebagai ilmu untuk mencapai makrifat alias kesempurnaan hidup. (Berat deh...)

Minggu lalu saya berkesempatan mengunjungi Bali, The Paradise Island. Pulau yang lebih terkenal di ranah internasional ketimbang Indonesia. Bali yang dalam benak saya, akan dapat melihat dan memotret segala ritus kebudayaan yang terkenal itu. Imagi itu akan terlaksana tatkala kita datang sebagai turis atau pejalan. Sayang, saya datang dalam rangka bekerja dan dapat dikategorikan kerja keras.

Begitulah, saya menjadi sekerup yang teramat kecil dalam kegiatan pemeriah perhelatan besar yang dinamai 1st Asia Beach Games. Bukan sebagai peliput namun sebagai panitia. Sebuah sebutan mentereng namun sangat ‘merusak’ keindahan Bali bagi saya. Begitulah, tatkala turis dari segala bangsa berduyun – duyun berwisata, saya dan juga teman sejawat dari Jakarta mengurusi kedatangan tamu luar negeri, tamu negara hingga berpikir keras menemukan solusi bagaimana WC mampet bisa bekerja lagi.

Baru pada hari ketiga, saya bisa melihat sekeliling. Itupun masih dalam lingkup tugas. Saya bertemu dengan seorang desainer lanskap asal Jerman, namanya Thorsten d’Heureuse. Saya memanggilnya Pak Thorsten, entahlah...sampai sekarang saya masih bersikap sebagaimana ibu saya mengajarkan sopan santun ala Klaten. Bahwa menyebut langsung nama pada orang yang lebih tua itu kategori kurang ajar.
Sebagaimana layaknya ekspatriat (paling tidak yang pernah saya temui), cara kerjanya begitu sistematis. Segala dipersiapkan dengan profesional dan meyakinkan. Walaupun banyak desainer lanskap Indonesia yang karyanya tak kalah dari Thorsten, bahkan ada yang lebih bagus, hanya saja mereka belum bisa mengemas hingga menjadi format bisnis yang dipercaya internasional. Saya penah menemui desainer lanskap Indonesia dimana ia mengerjakan taman senilai 1 M, dan tamannya eksotik luar biasa, sketsanya dibikin di atas kadus makanan. Perihal kemasan, banyak lahan dimana Indonesia belum bisa melihat potensi packing yang menawan. Coba pikir, sejauh mana kekayaan Singapore Botanical Garden dibanding dengan kekayaan Kebun Raya Bogor ?

Sebagaimana yang saya duga, karya Thorsten akan kental sekali dengan nuansa tropis yang dibanggakan orang barat tetapi tidak dibanggakan orang Indonesia sendiri, jantung hutan tropis. Saya tak menyalahkan, sudah menjadi minat psikologis dimana orang akan tertarik rumput hijau di negeri tetangga. 'Indonesiawan' ini akan begitu bangga tatkala punya desain lansekap Mediterania, Japanese Garden atau American Garden dimana mereka repot mendatangkan tanaman impor. Prestis dan bermartabat.

Hanya saja komentar Thorsten yang membuat saya merenung,” Bukan, itu bukan psikologi manusia. Itu adalah keegoan manusia yang mau melawan Tuhan. Kamu pikir, apakah manusia lebih pinter dari Tuhan untuk menata alam ini ?

Tuhan telah membuat bentang alam dengan komponen yang harmonis. Secara mudah, datanglah ke pinggiran sungai. Perhatikan jenis dan bagaimana pohon, semak, perdu yang tumbuh di sana. Itu adalah penataan paling jenius. Jika kamu ingin membuat taman, contohlah seperti itu. Jangan memaksakan tanaman yang berbeda ekologinya tumbuh di halaman rumahmu. High maintanance. Disamping itu, akan menimbulkan bencana lingkungan yang tak terduga. Di China, tanaman introduksi macam Sphatodea campanulata menjadi tumbuhan penggagu yang susah dibasmi.

Apalagi, untuk membuat taman, membangun perumahan, harus menebang pohon yang lebih dulu ada sebelum lanskapernya ada. Kenapa ? Kamu bisa bayangkan berapa waktu yang diperlukan tumbuhan itu untuk tumbuh ? Belum lagi kalau diganti dengan tanaman impor, biaya tinggi. Itu perlu disadari. Kenapa kita tidak mensyukuri yang kita punya. Indonesia punya yang negaraku (baca: Jerman) tak punya. Kenapa itu tidak dihargai ? Puluhan ribu spesies tanaman, berapa persen yang beredar di pasaran sebagai komoditi ? Lalu bandingkan dengan tanaman impor yang justru lebih banyak.” Di tengah nada bicaranya yang tenang, bersemangat, berbahasa Indonesia dengan lancar, baik dan benar (sesuai dengan EYD)diiringi dengan musik rock aliran keras (ini yang membuatnya tampil muda, energik dan style ala McJagger), akupun terdiam. Mengapa ?
“Kalian tak boleh putus asa. Indonesia harus bangkit. Saya yakin, Indonesia adalah negara besar dan akan menjadi tetap besar,” begitulah kata - kata yang aku ingat.

Thorsten adalah satu dari ribuan ekspatriat yang tersedot magnet keindahan Indonesia. Yang menurut sebagian dari kita yang 'idealis dan nasionalis' tak menyukai keberadaan mereka. 'Merebut ladang lokal' Sementara kita yang berpusar di pusat medan magnetnya tak menyadari, bahwa di luar sana daya tarik kita begitu kuat.

Perjalanan pulang ke hotel, saya kembali ke jalan yang tadi saya lalui bersama Thorsten. Tiba - tiba saya merasakan pohon, jalan, bangunan dan hal - hal yang saya lewati menjadi lebih berarti. Haruskah untuk menyadari hal berharga yang kita miliki harus meminjam kaca mata orang lain ? Lebih parah lagi, kita baru menyadari bahwa kita punya banyak tatkala banyak hal itu sudah tak lagi jadi milik kita.

Catatan Untuk Sausan : Sayang, senja di Kuta terasa sunyi tanpa kehadiran pipi tembem u. Really, I miss u, my little sunset. Baik - baik yah sama nenek.