Kamis, 27 November 2008

Andai Mereka Mengerti


Minggu kemarin saya naik kereta bisnis Senja Utama dari Jogja ke Jakarta. Kegiatan yang rutin saya lakukan semenjak anak saya ikut neneknya gara - gara belum dapat ganti partner yang ngasuh (baik - baik di sana ya, Sayang)

Seperti biasa, tiap kali saya ke Jogja saya menyempatkan memberi koran setempat terutama hari Minggu. Koran yang tidak akan saya temui di Jakarta. Mulai Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Jogja termasuk Kompas saya beli. Tanpa teliti harga, ternyata ada yang harusnya saya hanya bayar 2.500, tetap dihargai 4.000. Sebenarnya bukan karena besar uangnya, tapi kenapa pedagang asongan mesti melakukan itu ? Ya..kalau dia sedikit jujur, pastinya sudah punya lapak..tak perlu naik turun kereta dari gerbong ke gerbong.

Penumpang tak terlalu penuh, walau tiket selalu habis kalau ada yang beli (Sekali lagi saya berdoa, semoga kelak PT KAI ada saingannya sehingga mereka bisa berbenah diri. Katanya anti monopoli jaman VOC, tapi kenapa negeri ini masih melakukannya. Dan setiap saat PT KAI selalu rugi).

Saya baca pertama Kompas. Tetapi belum selesai saya sudah mengantuk. Lalu koran yang setumpuk itu saya lipet rapi, saya letakkan di bawah ransel saya sebagai tanda saya masih ingin membaca koran itu.

Ternyata keinginan saya tak dimengerti oleh penumpang kanan dan kiri tempat saya duduk. Rupanya ketika saya tidur, koran tersebut diambil. begitu saya terjaga di tengah malam, koran - koran tersebut sudah berserakan sebagai alas tidur. Saya benar - benar mau marah. Yang terbayang di benak saya adalah menendang mereka yang tengah tidur lantas mengambil koran itu. Tapi itu tak masuk akal. Mereka akan bilang...hanya koran ?! Pelit amat...

Saya ambil nafas sedalam mungkin untuk menenangkan diri. Ya ...hanya koran. Tapi mengertikah mereka bahwa koran itu berharga bagi saya ? Saya membelinya dengan tidak murah karena memang bukan koran bekas. Dan lagi, koran itu takkan bisa saya beli lagi di Jakarta.Seandainya mereka minta ijin, saya pasti akan ngasih. Siapa sih yang tega kalo orang minta untuk alas tidur ? Walau bagaimanapun...pasti saya akan pisahkan halaman mana yang benar - benar ingin saya simpan...

Lama sekali saya menahan emosi. Lalu saya liatin terus koran yang jadi alas, yang didinjak - injak dengan kaki. Baru setelah sampai Jatinegara, mereka tergeragap bangun. Lalu saya ambil koran itu.
"Maaf Pak, apakah sudah selesai. Saya akan baca lagi," itu kataku. Aneh bin ajaib..mereka tak mengucapkan terima kasih atau boro - boro maaf karena telah mengganggu hak orang lain. Mereka melihat saya sama dengan melihat pemulung koran yang selalu bawa karung di setiap stasiun di Jakarta. Saya jadi meragukan, katanya orang Indonesia ramah...

Tak berapa lama, satu per satu penumpang pun turun. Hanya sampah - sampah mereka yang tak ikut turun. Apakah sebuah pekerjaan berat melipat kembali koran alas tidur mereka ? Hingga kereta nampak bersih kembali ?Kalau mereka hanya bikin sampah..kenapa mesti naik kereta untuk manusia, bukan kereta sampah saja ?

Saya hanya berpikir, Anda mereka sedikit mau peduli dengan orang lain, barang kali mereka sudah mampu naik pesawat. Sehingga tak perlu butuh koran untuk alas tidur karena perjalanan yang panjang.

Rabu, 19 November 2008

Nocturnal, Suatu Malam


Kopi asli, local coffe. Itu kata - kata yang eksotis menurutku. Mengandung kejayaan masa silam, memori, romantisme klasik dan kenikmatan yang unik.

Begitulah, tadi malam setelah menunggu Mbak Christ menyelesaikan deadline Intisari, kamipun meluncur ke Anomali Coffe, di Jl Senopati. Sebenarnya saya sempat ragu, jam sudah menunjukkan angka 20.30, jam berapa sampai sana ? Sementara saya ada keterbatasan waktu (baca: angkot, beginilah nasih angkoters).Tapi sekali lagi, demi tugas ditambah ras penasaran, kamipun meluncur dengan taxi (hemmm)

Tapi segala kekhawatiran itu terlupakan ketika memasuki bangunan eksotik itu. Ada aroma kopi yang tercium dari karung goni. Entah mengapa, saya merasa seperti membelesak ke jaman VOC. Aroma keanggunan. Jujur, saya bukanlah penikmat kopi sejati (menuang cup-nya saja bingung). Bagi saya kopi adalah kebutuhan untuk mengganjal mata kala deadline. Capuccino adalah mantra penjinak kantuk. Selebihnya, saya tidak tahu.

Tapi begitu masuk ke cafe itu, mencium aromanya,seperti saya masuk dalam pusaran keakraban. Mungkin saya berlebihan, tapi itulah yang saya rasakan. Apalagi ketika membaca labelnya : Java Jampit, Papua Wamena, Sumatra Mandailing, Sumatra Lintong, Bali Kintamani, Aceh Gayo (ini nama jenis kopi asli Indonesia). Tiba - tiba saya merasa pulang ke suatu tempat yang indah. Tanah yang kurindu.Mungkin karena akhir-akhir ini saya jarang menemukan indonesia yang dikemas menawan. Dimana - mana justru nama lokasi negeri antah berantah yang mudah kudapati. Sebut saja cluster Frankfurt, Valensia, bla bla. saya lupa, saya ada di mana.

Lalu kopi terhidang. Dan jujur, saya bingung bagaimana menuangnya (kebangeten ya ?)Lalu saya menikmati serbuk Sumatera Mandailing. Sebelumnya saya tak pernah mau dengan kopi yang disajikan di hotel dengan selera 'bule' (karena pahitnya ampun), tapi kali ini seteguk demi seteguk...amazing. Sekali lagi, saya bukan penikmat kopi sejati, tetapi ada keindahan yang datang entah darimana..

Hingga kami memutuskan pulang, pikiranku merasa seringan kapas. Saya tiba - tiba ingat Filosopi Kopi yang ditulis Mbak Dee. Apakah energinya seperti ini ?

Begitulah, cerita inipun berakhir dengan saya pontang panting mencari angkutan untuk pulang sembari menahan mau ke toilet (kopi memang membuat gampang pipis). Saya menumpang angkutan malam hari (Amari) yang isinya mahluk - makluk malam. Nocturnal.

Jalanan Jakarta yang sepi. Saya seperti melihat amuba raksasa yang tengah mengumpulkan energi untuk membelah di siang harinya. Sepi tapi bukan berarti tak ada bunyi. Ada energi yang tertahan. Ada bisik - bisik yang teredam. Ada sesuatu yang terbungkam. Jakarta menjelma jadi makluk purba yang terjebak gletser. Beku tapi mengancam.

Anehnya, makhluk nocturnal ini (termasuk saya kali ya) berbeda dengan makhluk yang saya temui setiap pulang kantor yang larut malam bukan larut pagi. Kalau yang pulang larut malam ini biasanya jam 11 malam, semuanya bermuka seperti asbak rokok yang kepenuhan. Sepeti mau muntah melihat nasib. mereka duduk di bis kota bobrok, lalu duduk sambil tertidur. Coba kalau saya pas tak dapat tempat duduk dan berdiri di dekat supir, menghadap ke belakang, tercipta pemandangan yang tiba - tiba jadi mengerikan. Seperti barisan zombie..what happen with us ?

Catatan untuk Sausan :
Sayang, I miss U so much. Semoga cepet dapat gantinya Mbake yang ngasuh ya...biar kita bisa bernyanyi Bintang Kejora lagi.
Btw, Sayang, ingatkah waktu lebaran kita pontang - panting nyari kantor pos buka ? Tidak sia - sia, Sayang..cerpen ibu berhasil jadi pemenang di Femina. Tidak juara satu sih..tapi lumayan. Nanti kita beli sepeda, terus Ibu boncengin keliling lapangan, menyapa ulat di pohon rambutan. Thanks ya, menemani Ibu...

Kamis, 06 November 2008

Obama...

4 Nopember adalah hari bersejarah bagi dunia.
Bagi Amerika, fenomena baru yang mampu membalikkan fakta. Obama memberikan inspirasi, ketika kita yakin dan gigih berusaha...segalanya mungkin.

Bagi Indonesia, begitu bangganya ketika ada salah satu warganya akhirnya menjadi orang nomor satu di Amerika (baca: dunia?!)Kadang saya berpikir, kala itu Obama pastilah orang biasa yang tak pernah ada dalam obrolan. Mungkin hanya kerabat dekatnya saja yang tahu. Atau kawannya yang selintas lihat karena dia hitam dan miskin (ukuran miskin di Menteng tentu saja beda dengan miskin pada umumnya). Saya membayangkan, mungkin kala itu masih banyak yang bisa dilihat dari hanya sekedar Obama. Toh dalam bukunya, Obama juga menuliskan bagaimna ketidakadilan dan kesemena-menaan yang dia terima karena ia kulit hitam di Indonesia.Tentu saja, kala itu (hingga kini), Indonesia tak peduli akan potensi seseorang.

Dari Obama semoga bisa belajar, ada banyak mutiara ini terpendam di Indonesia. Walaupun mutiara akan senantiasa putih berkilau walau di comberan. Tetapi siapa yang mengerti keindahan mutiara jika yang melihat hanya nyamuk dan kecoak ? Nyamuk dan kecoak pastilah lebih tertarik dengan darah segar dan remah keju daripada keindahan mutiara.

Congrats Obama !
Selamat juga untuk Kofifah ! (hayo, pasti lupa kalau kita punya pemilu juga)

Semarang, suatu siang