Kamis, 12 Maret 2009

Bioteknologi, Masa Lalu dan Award Itu



Ketika M Shol (sahabat hebat saya di Intisari)memfoward SMS undangan penganugerahan award, saya sedikit gundah (halah).Jujur, saya menunggu pengumuman ini krn salah 3 artikel saya ikut.Lain dg lomba yg lain, biasanya sy kirim terus lupakan. Yang ini agak beda, karena panitia agak aktif memotivasi utk mengirim. Setelah berharap banyak, kok undangan kehadiran saja tidak dapat...hopeless.

Sehari sebelum pengumuman, akhirnya saya mendapat telepon dari panitia sebanyak 3 kali, SMS 3 kali dari nomor yang berbeda. Bunga - bunga bermekaran di hati dan Mbak Christ (dari Intisari juga, spesialis peserta lomba) memberi harapan, 'kalau ditelp. biasanya menang, Tik.' Pyuuuhh...berita gembira ini saya sampaikan ke suami saya, juga Sausan yang ikut dengar tapi sibuk menebar tepung (duh..). Si ayah ini langsung mendongak ke eternit 'Wah, kita bisa buat beli lampu yang ada reflektor spt lobby kantor.Biar cahaya enggak 'nyuleg mata'.Malam itu kita berandai2, menghitung andai juara harapan dapat Rp 1 juta aja, 500 rb buat beli lampu, sisanya buat nraktir temen - temen kantor, minimal gorengan biar didoain dapat lagi (optimismu luar biasa, Nduk).

Begitulah, singkat cerita saya sampai di pengumuman itu. Dr. Bambang dr Indobic sukses membuat air mineral di gelas saya teguk sampai habis karena tegang (saya berusaha menyusun kalimat untuk suami saya, andai lampu yg spt lobby kantor itu tak jadi terbeli). Juara harap 1,2 lolos..hati saya bersorak, minimal dapat Rp 7 juta ! Pas ke2..lolos jg ! Saya raih minuman yg masih disegel. Akhirnya..kusujud syukur padamu ya Allah..juara II setelah saya habis 3 gelas air putih di meja hotel itu.

Award itu ada di tangan saya, untuk tulisan yang banyak menuai pro dan kontra : Bioteknologi. Saya balik ke 13 tahun silam, ketika masih berkalung syal Mapala Kompos dan turun ke jalan ala Chicho Mendes. Tentunya transgenik itu zombie keanekaragaman hayati, dominasi negera maju, bioteknologi adalah kengerian.

Kawan, seperti sifat bawaan orok, menjadi mahasiswa itu dibekali bakat menentang, berontak. Dan betapa bangganya ketika ada sarana untuk menentang demi alasan idealisme. Sifat itulah yg setelah lama saya renungkan, dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mendukung apa mau dari kekuatan yang lebih besar dari pihak itu. Jadi intinya, pihak itu dan kami pada mahasiswa adalah wayang yang tak tahu dalangnya. Tapi kami tampil heroik di panggung dan kami bangga.

Bioteknologi (khususnya rekayasa genetika) sebagaimana ilmu lainnya, selalu punya dua sisi. Sayang, kedua sisi itu tak tersebar ke khalayak secara utuh. Ilmuwan yang meneliti sulit mengomunikasikan ilmu yang banyak istilah rumit itu dengan cara yang sederhana.Sementara informasi yang sederhana dan mudah dimengerti justru datang dari yang bukan ahli, hingga banyak kesimpangsiuran.Masyarakat berhak mendapatkan informasi secara utuh hingga mereka bisa menentukan pilihan. hak pilih inilah yang kerap tak diperhatikan dan dimengerti. Belum tentu sesuatu yang dianggap bagus, modern, canggih menjadi pilihan mereka dan membahagiakan.

Ketika plakat itu ada di tangan saya, kembali saya pertanyakan. Apakah saya sudah tidak idealis lagi karena 'berkawan' dengan pihak yang dulu antipati. Apakah adakah semacam kompromi ?

Idealis ada masanya. Itu kalimat yang kerap melegalkan para mantan mahasiswa atau aktifis. Menurut saya, idealis tak ada masanya. Adalah pegangan yang seharusnya diperjuangkan. Hanya saja, keidealan itu menjadi berbeda tatkala kita semakin memandang permasalahan dengan banyak sudut pandang. Dengan bertemu banyak orang di berbagai sisi. Seperti itulah peran yang kini tengah saya jalankan. Sebagai jurnalis.

Note : Artikel itu berjudul : Padi Emas : Ketika bunga daffodil menjelma semangkuk nasi. Dimuat di Majalah Intisari, Desember 2008.

Untuk Sausan : sayang, kau uji kesabaran Ibu dengan aktifitas tanganmu yang begitu kreatif. Hasilnya : setengah kilo tepun membedaki lantai, mie yang mau dimasak masuk ke bak mandi, gelas pecah, dan lain - lain. Semoga kamu akan mengingatnya kelak.

Kamis, 05 Maret 2009

Cerita tentang pohon



Pohon tegak, “masing-masing bagaikan dewa, dalam sebuah aliansi merdeka”, kata Hölderlin. Seandainya sang penyair pernah melihat sebuah hutan tropis, (bukan hutan Jerman), ia mungkin tak akan bicara tentang pohon yang tampak berdiri “masing-masing”. Di hutan tropis bukit ini, pohon-pohon saling merapat, terkadang bertaut, semua bergerumbul dengan semak dari jenis dan zaman yang berjauhan.

Cuplikan Catatan Pinggirnya Goenawan Mohammad itu membuatku teringat akan batang - batang pohon yang dulu padanya aku terpikat.

Sebatang edelweiss di Sabana Merbabu, desember 1995

Kala itu aku berhenti kelelahan. Lalu bersandar di bawah pohon edelweis yang begitu memikatku pada waktu itu. Karena aku tak menyangka, aku bisa bersandar di keindahan tubuhnya. Aku kenal edelweis dari buku pelajaran bahasa Inggris kelas 3 SMP. Di sana ditulisakan bahwa edelweis adalah bunga abadi, tumbuh di tebing terjal dimana banyak pendaki yang rela mati untuk memetiknya. Kalimat terakhir ini yang membuatku 80% yakin, aku takkan pernah bertemu dengan tanaman itu (saat SMP aku tak pernah berpikir untuk mendaki gunung).

Dan betapa takjubnya aku, ketika aku bisa bertemu, melihat dan bersandar di bawah keharuman daun jarum (aku tak pernah memetiknya, karena keabadian edelweis hanya akan ada di tempta ia dilahirkan)Di situlah aku mengalami sesuatu yg menurutku keajaiban. Waktu seperti berhenti. Aku mengalami keheningan yang aku tak bisa melukiskan dengan kata. Hingga kini,aku masih ingat bagaimana rasaku waktu itu..setiap kali mengingat, ada kerinduan yang dalam..kerinduan yang tak bisa kuterjemahkan. Berselangtahun kemudian, aku menuju tempat itu lagi...tapi aku tak bisa merasakan keheningan ajaib itu. Tetapi aku justru merasakan di tempat lain, ratusan kilometer dari sana, di puncak 2054

Pepohonan Jobolarangan
Aku lupa, bulannya, tapi mungkin tahun 2000 ketika aku survey untuk diksar Mapalaku. Saat itu aku bersama Hery (sahabatku yang membuat segala yang tak mungkin jadi mungkin, selamat menempuh hidup baru yah..)Aku duduk sambil bersandar di tas carrierku, di puncak 2054 mdpl. Di sekitarku ilalang kering sedang merontokkan bunganya yang putih seperti kapas. Kering sekali waktu itu.

Di seberang sana, melewati kabut, melewati lintasan sayap burung yang mencicit seperti merobek cakrawala sunyinya komplek Lawu,aku melihat pohon yang tumbuh subur di Bukit Jobolarangan. Saat itulah aku merasakan keheningan sebagaimana yang aku rasakan sebelumnya. Begitu aku sadar dan melihat jam tangan, paling hanya 3 menit. Tetapi seperti lama sekali. Bahkan energiku seperti terkuras. Hingga kini, aku belum mendapat penjelasan apa yang sebenarnya terjadi.Yang jelas, aku mengalami kedamaian yang luar biasa.

Rasamala di balik kabut

Masih di lereng Lawu, aku lupa kapan dan persisnya lokasi. Kukira kami Mapala Kompos sepakat menamainya Pancuran. Aku naik pada track yang sangat menanjak dengan carrier di punggung. Aku bayangkan, jika dilihat dari belakang seperti ada tas besar berjalan karena perbandingan tas dan tubuhku (yang tak semampai) adalah bukan perbandingan sempurna. Begitulah, untuk menaiki track miring lebih dari 45 derajad, membuatku terkapar. Masih di tengah - tengah, aku menemukan pemandangan indah.

Di kejauhan, pohon rasamala berjajar rapi di lereng bukit. Warna daunnya yang merah menyala karya matahari dan suhu rendah,tersaput kabut, menjadikan lanskap itu sedemikian indah. Sungguh aku terpesona dan semakin jatuh cinta dengan hutan tropis. Dimana aneka rupa warna dan aroma bisa ditemukan dalam keberagaman hayati di dalamnya. Keberagaman yang terkadang dimaknai permusuhan bagi yang tak bisa menerima keberagaman sebagai berkah. Bukankah karena keberagaman yang menciptakan harmoni dan keabadian yang umurnya lebih tua dari peradaban manusia ? Keberagaman itu hadir jauh sebelum manusia.

Lalu keberagaman itu menjadi senjata untuk saling merendahkan, saling menghapuskan, saling memaksakan. Akankah sebuah kehebatan tatkala perdu yang seharusnya hidup di bawah naungan mendongak congkak mengguli pohon yang membutuhkan sinar lebih dari perdu ? Bijakkan pohon tinggi ketika memaksakan cara hidupnya pada rumput dan jamur yang makanannya humus dan tanah lembab ?

Andai mereka yang tak setuju perbedaan, yang memaksakan kiblat keragaman, sempat duduk di tebing dimana saya melihat keindahan itu. Kuyakin, pepohonan rasamala itu akan juga menceritakan keharmonisan itu.

Cerita itu masih terngiang, sebagaimana bentakan teman saya yang tiba - tiba sudah mencengkeram tas saya dengan susah payah. Ternyata, saya tertidur beralaskan akar yang menjorok di tebing dan nyaris saya terjungkal ke jurang yang menganga.

Untuk Sausan : terima kasih Sayang, kau telah mengantar ayah dan ibu untuk keliling ke pameran buku. Lalu kita kehujanan, berteduh di bawah pohon berdaun kupu - kupu Behaunia. Dedaunannya yang mencoba rindang di tengah kota yang tak ramah pohon, menyerah pada hujan yang dersa. Kaupun basah kuyup. begitu pula rambut keritingmu.