Rabu, 26 Desember 2007

SELAMAT BERTUGAS, AYAH


Saya dulu paling tidak suka mengantar sahabat dekat untuk berpergian yang artinya perpisahan dalam waktu lama. Misalnya saja dahulu waktu kuliah, kakak tingkat saya pulang ke Jakarta (waktu itu saya masih di Solo) karena sudah lulus, saya berusaha mencari banyak alasan untuk tidak mengantar ke stasiun Balapan. Kalaupun terpaksa mengantar, saya akan mengantar ke stasiun dan langsung pulang. Saya tidak mau menunggu sampai kereta berangkat sembari melambaikan tangan. Bagi saya, keberangkatan kereta, bus apalagi pesawat akan menyisakan kesedihan lebih lama.

Ternyata, mau tidak mau saya harus berurusan dengan keberangkatan. Dari sejak pacaran hingga menikah, kereta membelah pulau Jawa sudah menjadi rutinitas kami setiap bulan. Hingga pada suatu saat, saya benar - benar benci melihat sebuah pemandangan kereta api dan jendelanya. Karena di sana ada lukisan air mata.

Setelah diskusi yang alot, kami diberi anugerah waktu untuk bisa bersama. Untuk sementara, kami tak lagi berurusan dengan kereta api dan jendelanya. Namun ternyata, saya berusrusan dengan jendela lain lagi dimana lukisan air mata itu semakin jelas mengalir. Jendela pesawat.

Kemarin saya harus mengantar suami saya bertugas ke Sumatera Barat. Dengan cuaca yang tidak menentu, berita bencana di mana - mana. Saya hanya berusaha meyakinkan diri saya 'everything gonna be oke..' Sekian doa dan slogan saya ucapkan untuk menguatkan hati saya. Tuhan bersama orang - orang pemberani (ini sih slogan usang ketika sempat mengaku menjadi petualang).

Hanya saja, ternyata tidak mudah bagi saya. Melihat pesawat satu per satu lepas landas, mau tak mau air mata saya mengalir deras. Kalau selama ini ia yang mengatar kepergian saya, dari stasiun ke stasiun, dari bandara ke bandara, saya masih bisa tersenyum. Tetapi ketika saya yang ditinggal, saya menderita paranoid yang luar biasa. Termasuk ketika Hp - nya tidak bisa dihubungi, segala pikiran buruk berkecamuk...

Mam, saya baru sadar, kenapa dulu ibu melarangku naik gunung. Bahkan larangan itu berupa ultimatum yang teramat keras (Walau dengan diam - diam aku tetap melanggarnya, dan diam - diam juga ibuku tahu). Ternyata larangan itu merupakan salah satu bentuk sayang yang tidak mengenakkan. Oleh karena itu, ketika suami saya minta pertimbangan untuk tugas ke Sumatera, dengan alasan ia ingin mengetahui daerah itu lebih banyak, saya berusaha menyetujui. Karena saya tahu bagaimana rasanya berpetualang di daerah yang baru. Bagaimana rasanya jika dilarang. Dan konsekuensi dari persetujuan itu ternyata panjang sekali. Kekhawatiran, dheg - dhegan, mencoba menumbuhkan kepercayaan... Keep my trust, my satria...

Catatan di balik layar : Ayah, tadi pagi Sausan sudah 'pinter'. Ketika ibu mau berangkat ke kantor, sausan mau ikut terus. Sampai harus dibujuk - bujuk, didongengi dll...Sausan pilek, sulit napas karena ketularan ibu hiks...

Selasa, 04 Desember 2007

A SEED OF DANDELION


Dandelion seed carried away
By the devil strong wind
No time for say good by

To Mom who give the arm all the time


Tiny seed travel like tiny parachutes

Fly..fly... to the unlimited sky
A devil wind can carry away a thousand miles
Landing on unknow land
Is it still the same planet ?

No love, no friendship

No honesty, all is lie

No feeling, all is like machine

No hero, all is opportunis

No life, all is mumy

Oh...If She have a choice


Dandelion seed lying on the stone

Waiting for next wind

The angel wind who traveled her to home


(Untuk bayi - bayi yang dijadikan alat mengais recehan, Semoga kalian mendapatkan tumpangan untuk pulang. Sayang, temanmu di luar sana butuh tumpangan...) Foto : www.ics.aci.edu