Selasa, 20 Januari 2009

Kebun Cahaya


Seseorang pernah menceritakan padaku
Tentang sebuah kebun yang indah
Di suatu tempat yang tak ada dalam peta
Namanya Kebun Cahaya

Di sana hanya ada keindahan
Semuanya berkilauan
Hingga permata tak lagi berharga

Setiap kali ia bercerita
Tentang suara angin yang berkilau
Tentang kemerlip harum Kebun Cahaya
Air matanya mengalir
Jika kugenggam jemarinya
Dia mengatakan 'Tak perlu, aku tak sedang sedih'
Kucoba melihat lebih dalam ke hatinya
Dia memang tidak sedang sedih
Dia hanya sedang hanyut akan kisahnya
Kenangannya
Tentang Kebun Cahaya

Hanya saja dia meredup
Manakala kutanya kemana arahnya
Bagaimana jalan menuju ke sana
Seperti apa petanya

"Sahabat,
Kebun Cahaya takkan teraba
Dia hanya akan berkilau
Jika kau menikmatinya dari sini..."

Di genggamnya tanganku
Diletakkannya di dada
Ada degup pelan
Detak teratur
Lalu aku melihat cahaya
Kebun Cahaya itu...

Catatan Untuk Sausan : Sayang, senja di sebelah rumah kita mendadak menangis. Tapi Ibu tahu, kau akan selalu tersenyum untuknya...

Rabu, 14 Januari 2009

Memory..When You Worries





Foto ini adalah sebagian dari perjalanan saya untuk meliput ke berbagai lokasi. Sebagaimana yang saya katakan sebelumnya, menjadi wartawan Flora Fauna mempunyai cerita yang unik. Sesekali akan saya share,sekedar membuat tersenyum kala suasana hati mendung.
Paling atas : Kebun Durian di Semarang
Nomor dua : Kampung Ulu Pitu di Palembang
Nomor tiga : Meliput utk National Geographic Indonesia dengan Jerry Aurum
Paling Bawah : Gunung Halimun, Jawa Barat

Kebun Durian, rapuhnya seorang petani
Fotonya bukan di foto ini. Suatu hari, saya bertugas untuk meliput dan memotret kebun durian. Terbayang dalam benak saya, durian monthong nan ranum tersaji di hadapan siap santapz (pakai z tanda mantapz).Begitulah, saya menuju lokasi tersebut dan karena sesuatu hal, tak bisa bawa mobil. Saya dan Armin (enggak pakai Compost)menuju lokasi dengan angkot. Jaraknya lumayan menakjubkan karena didera macet tiada tara. Dari rumah saya hingga UKI yang biasanya 1,5 jam ditempuh 3 jam. Belum lagi terbanting - banting di angkot menuju lokasi (adegan ini tak ada dalam petunjuk elemen jurnalistik Bill Kovack maupun Vademecum Wartawan). Sesampai di lokasi, saya mendapati durian yang besar - besar,namun tak dapat dijual. Karena rontok dihajar angin yang datang karena pemanasan global. 30% buah tak bisa dikonsumsi. Kerugian minimal 60 juta rupiah. "Durian ini dijual butiran, Mbak. Udah enggak pakai dicoba. Saya akhirnya hanya jual durian, bukan jual manis. Makanya kalau ada pembeli nanya yang manis, saya enggak bisa jual," ujar pekebun sembari menatap durian jatuh yang tak pada masanya. Sebuah renungan bagi saya, kalau beli buah...nawarnya jangan terlalu sadis dan nyela sana sini. Penuh peluh untuk menghasilkannya.

Walau banjir menghadang...
Ini cerita saya ketika meliput untuk Nat. Geo Indonesia. tatkala membayangkan majalah begengsi itu, saya seakan - akan berpose ala John Krauker.Bersepatu tracking, menyandang tas carier dan kamera terkalung di leher. Amboy gagah nian.

Hanya pada kenyataanya, saya menyandang perut menggelembung dan memakai sepatu trepes. Saat mendapatkan tugas, saya sedang hamil Sausan (si keriting yang kini sudah tengil). Total penugasan hingga 1 tahun sampai artikel dimuat. Ada cerita yang saya ingat yaitu saat perjalanan ke Malang, februari 2006. Banjir melanda jakarta. termasuk menggenangi rel yang dilalui kereta yang saya tumpangi. Begitulah, malang - jakarta yang hanya ditempuh kurang dari 12 jam, menjadi 24 jam di dalam kereta. Saya hamil 7 bulan waktu itu. Si tengil itu sudah berakrobat di dalam perut. Bahkan saat tiba di stasiun tujuan, saya panik seperti mau lahir. Ternyata saya hanya hiperbolik.

Tetapi saya sungguh berkesan pada penugasan ini. Saya menelusuri peranggrekan Indonesia, peraganya. Saya bertemu dengan 'penyelundup' anggrek legendaris yang dipenjara di California pada usia yang teramat muda. Dia satu - satunya orang Indonesia yang dipenjara karena anggrek, di luar negeri pula. Hingga kini saya bersahabat dengannya, beliau memberi saya banyak pelajaran berharga.Juga 'penadah' yang mempertanyakan : kalau hunter anggrek meminjam uang pada saya untuk mengobati istrinya yang sakit. Lalu ia membayar hutangnya dengan sekotak anggrek dari hutan, apakah saya penadah ?" Ya,sampai di titik ini, dimanakah konservasi bertahta ?

Yang tak kalah mengesankan tentu saja bekerja sama dengan Mas Jerry. Yang kata teman saya si fotografer bilang : Hah, kamu sama Jerry ?? Nah, saya enggak tahu apa maksud 'hah' ini. (Hehehe..Mas Jerry, pengagumu banyak deh hehehe)

Ada 'bisul' di Halimun

Mengunjungi G.Halimun saya ekstra paranoid. Selalu mengoleskan lotion ke segenap penjuru badan. Sungguh, ini tak ada dalam prosedur penjelajahan ataupun berlagak sok centil. Saya punya pengalaman tak sedap dengan Mr.P (baca : pacet, binatang yang sepertinya Tuhan sedang tidak mood saat menciptakannya...maaf).

Kala itu, saya sedang tracking di belakang Taman Safari Indonesia. Baru melangkah, ee..kamera terlihat berkilau - kilau di dasar sungai (baca :kecebur). Panik dan tak hati2 akhirnya sayapun tersuruk. Singkat kata, perjalanan sukses. Sampai pulang kami serombongan PAI (Perhimpungan Anggrek Ind) mampir di KFC Sentul. Eh, kok tiba - tiba perut rasanya gatal. Iseng tangan saya meraba perut, kok ada benjolan seperti bisul nan hangat. Perasaan saya enggak bisulan. Reflek saya buka..begitulah, sesuatu yang terlalu mengerokan untuk dideskripsikan, bergelung hangat di sana. Suara kepanikan pun diakhiri dengan suara 'teplox', si Mr. P pun melenggang kekenyangan, menyisakan darah bak baru ketusuk pisau di perut saya. Saya sharing ya...digigit Mr.P itu tak sakit, sungguh..hanya sakit hati yang enggak tahan, hingga terbawa mimpi jadi mimpi buruk..Tapi paling tidak, ia sudah menempuh puluhan Km antara hutan TSI hingga Sentul, kira-kira 4 jam bergantung gigih di perut saya.
Mr.P itu semacam spesies pembeda penghuni gunung di Jawa Barat dan Jatim/jateng. Waspadalah.

Selasa, 06 Januari 2009

Energi dari Diary


Ini foto saya dan Joussy waktu ke Aceh sendirian, tahun 1997 (jd saya semester 3)Foto ini diambil di pinggir danau Singkarak, tapi entah apa yang ada di benak saya waktu melakukannya, kok ya terus dicropping gitu.

Buku Diary...
Barusan saya buka web mapala tempat yang menentukan sebagian hidup saya (www.kompos.web.id),ada kakak (salam ya buat 2054 mdpl) yang menulis ttg buku agenda. Ya, kala itu betapa berartinya buku agenda bagi kami. Agenda (atau bisa disebut diary)sudah menjadi bagian dari anggota tubuh kami. Dia selalui menyertai kala malam - malam dingin begadang rapat yang begitu alot, menampung kekesalan dalam bentuk coretan makian, menuliskan semangat untuk memotivasi diri hingga menjadi teman kala kita keserang gila/cinta (beda tipis).

Saya mulai menulis diary saat SD kelas 4, kala itu saya suka (atau jatuh cinta kali ya) dengan kakak tingkat saya. Untuk membeli buku diary seperti dalam majalah kan mahal. Saya ingat, saya beli buku tebal yang sampulnya batik (semua pasti tau buku macam apa itu, yg kerap dipakai tukang kredit atau buku kasbon). Lalu depannya saya gambari pakai spidol merah. Gambar mawar merah lengkap dengan duri - durinya huahaha(ketahuan betapa noraknya saya kala itu..sampai kini kali). Di dalamnya saya tulis data diri, dan..saya ingat..saya tulis cita - cita saya dengan huruf besar besar : Saya ingin jadi DOKTER (cita - cita pada umumnya). Di dalamnya ampun..kalimatnya puitis, romantis abis....tak dinyana, kalau baca sekarang takjub sekaligus mual dan ngakak. Tapi lumayan rinci, isinya pertemuan saya dengannya mulai dari hal kecil : dia senyum, dia lewat di depan rumah saya, atau saya yang lewat depan rumahnya (kalau disuruh belanja ibu, pasti saya lewat..padahal jelas rute warung sama rumahnya bertolak belakang)sampai akhirnya..saya kok lupa ya, endingnya bagaimana.

Dari SD itu, saya terus menulis diary...tapi kemudian saya tak hanya menulis dear Diary...diary itu jadi punya nama, namanya Joussy. Ah..si Joussy itu tokoh yang pada bayangan saya waktu itu hermaprodit, bisa laki bisa cewek tergantung kebutuhan (heheh). Selain diary, Si Joussy itu menjelma jadi boneka panda warna abu - abu yang lusuhnya ampun - ampunan. Saya beli waktu pertama kali kost di Solo, beli di pasar malam. Nasib Joussy itu jadi punya seribu laki - laki...setiap kali ada teman yang main ke kos, baik cowok atau cewek selalu memakainya buat bantal. bahkan ada yang menorehkan tanda tangan. Sampai lulus, Joussy selalu menemani saya. Sempat sudah dibuang ibu saya di tempat sampah, lalu saya ambil lagi (Ini seperti bola yang lama - lama jadi gondrong yang nemeni Tom Hank dalam Cast Away).Tapi jangan salah, Joussy tak hanya menemani saya di kamar, jalan2pun ikut. Jousy saya ajak naik Puncak Lawu hingga perjalanan sendiri saya ke Banda Aceh. hebat kan ?

Joussy yang tak berwujud lama - lama tak saya sapa ketika saya sudah menikah. Entahlah, semoga karena sudah menemukan teman yang kasaad mata sehingga si Joussy memilih pergi. Tapi kadang..saya kangen dengannya. Dia adalah makhluk ajaib yang memberi sayap pada mimpi dan imaginasi hingga terbang dan bertengger pada realisasinya. Ya..karena Joussy, saya berlatih menulis yang akhirnya menjadi kehidupan saya kini.

Beberapa diary masih ada yang terselamatkan, bahkan sobekan - sobekan kertas (saya dulu punya laci di kost, di depannya saya labeli : the letter never send. Kebayang, ada banyak surat di saya selama 5 tahun saya sekolah)termasuk kertas lembaran soal ujian yang saya tulisan besar - besar :DUCK, NOMOR 5 JAWABANNYA APA ???(Doekie,itu sahabat saya yang NIM didepan saya waktu kuliah H 0196060 itu NIM saya, nah si doeki pastilah 59. Terkadang saya masih membukanya.

Di sana saya menemukan : betapa pengkhayalnya saya, konyol, jahil, terpuruk, ga masuk akal, norak, dll. Tapi semua itu selalu membuat saya tersenyum, senyum yang memberikan energi...

Untuk Sausan : Sayang, semoga kamu baik - baik saya. Maaf, Ibu lengah hingga terpaksa ada dua jahitan di kepalamu. Really..I love you, more than you know...