Selasa, 26 Agustus 2008

Surat Buat Simbok di Desa


Foto : Tungku-nya Simbok

Mbok, apa kabar ?
Saya di sini baik - baik saja, tidak kurang suatu apa, kecuali kurang uang - kekurangan yang sudah bukan lagi menjadi kekurangan bagi saya dan keluarga. Lha wong sudah terbiasa tidak punya uang. Tetapi bukan berarti susah, sungguh Mbok. Segala masalah menjadi enteng ketika melihat cucumu ini sudah menik - menik dan tipluk - tipluk.

Kemarin Genduk mencret - mencret, tapi sudah dibawa ke Puskemas. Biasa, dikasih pil warna - warni, terus sembuh. Entah karena penyakitnya sudah bosen menggerogoti tubuh yang makanannya yang enak, atau memang pil Pak Mantri yang dari saya kecil hingga kini, sudah lintas kota antar propinsi juga masih sama warnanya.

Perihal warna, yang bertambah warna - warni bukan obat pil di Puskemas tetapi warna warni bendera partai. Di Jakarta, Mbok...sepanjang jalan warna - warni bendera itu berkibar dengan meriahnya. Seperti kalau di desa kita mau ada pertandingan antar RT. Apakah Simbok sudah dikasih tahu Pak Bayan, kalau partainya sudah tidak lagi hanya hijau, kuning dan merah seperti lampu stopan (Baca: traffic light) ?

Saya masih ingat kata Pak Sukam, guru PMP (Pendidikan Moral Pancasila)SD, bahwa di Indonesia ini hanya ada 3 partai karena untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Kalau hanya dua, bisa berantem. jadi harus ada penengahnya, yaitu partai ke 3. Sementara kalau kebanyakan seperti pemilu jaman tahun 66, persatuan akan terpecah belah.
Kini saya yang lulus SD saja tidak tahu, apalagi Simbok..apakah persatuan dan kesatuan masih diperlukan untuk melengkapi sila - sila Pancasila.

Halah Mbok, saya juga ndak tahu..apakah Pancasila tidak pada dicuri orang..wong barang - barang pada naik begini. Elpiji di tipi naik yang tadinya 63 ribu rupiah menjadi 69 ribu rupiah. Kalau di tokonya Encik dari 68 ribu rupiah menjadi 75 ribu rupiah. Kalau ditanya kok tidak sama dengan di tipi, Encik malah menyuruh beli di tipi saja.

O ya, Mbok..saya belum cerita ke Simbok ya kalau sekarang saya sudah tidak menggunakan kompor minyak yang dulu bawa dari desa waktu pindahan ke Jakarta. Beberapa waktu pemerintah menginstruksikan untuk mengganti minyak tanah ke elpiji atau gas. Begitulah, minyak tanah langka, kalau ada pun mahal.

Juragan punya kompor gas besar dan tabungnya yang sudah tidak dipakai. Makanya saya lungsur dengan nyicil. Nah, semenjak menggunakan gas, kasur tempat tidur tidak lagi kena langes (baca : jelaga) sebagaimana dulu waktu masih pakai kompor minyak. Kadang bantal juga kecipratan minyak tanah atau sumbu kompor. Hanya masalah sekarang menjadi mahal.

Saya jadi rindu di desa, Mbok. Masak tidak usah repot nyari bahan bakar. Cukup pakai sabut kelapa atau blarak (daun pisang kering). Apalagi listrik di Jakarta sering byar pet. Kalau di desa tidak pernah jadi masalah. Listrik mati ya paling tidak bisa melihat sinetron Kanza. Air masih ngalir wong nimba, nyetrika juga bisa pake arang, lampu tak masalah bisa pake minyak klentik bikinan sendiri.
Mbok, dengan kondisi ini, bukannya saya pelit..lebih baik Simbok tetap tinggal di desa saja, ngurusi sawah. Walaupun bukan punya kita, tapi Pak Bei kan sudah memasrahkan seumur hidup Simbok.

Kalau Simbok ke kota, siapa yang akan menanam padi ? Siapa yang akan menghasilkan pangan untuk penduduk Indonesia, termasuk penduduk Jakarta. Siapa lagi yang akan jadi model untuk kampanye partai ?

Percayalah, kalau tetangga kita nyalon presiden, pasti butuh orang - orang kayak Simbok untuk dirangkul dan dipeluk - peluk lalu masuk tipi. Bayangkan, Simbok masuk tipi seperti Kanza itu. Rak ya hebat ta ?

Demikian Mbok, surat dari saya. Semoga bisa sampai sebelum lebaran. Soalnya sering nyangkut di balai desa lama sekali. Doakan dagangan saya laris, sehingga besok bisa beli jarik pring sedapur dan bawa nastar untuk lebaran.

Sungkem saya,
Genduk Pagiyem
Jakarta - Tangerang - Indonesia

Jumat, 15 Agustus 2008

Lelaki di Jembatan Ampera


Jembatan Ampera, suatu siang
Kala mesin pengeruk menggerus tubuh Musi. Riuh besi beradu lumpur meramaikan siang. Ada banyak laki - laki yang ikut berkubang bersama roda mesin. Nampak biasa, sebiasa potret ribuan buruh di negeri ini. Tiba - tiba aku menangkap sesuatu yang nampak tak biasa pada lelaki itu. Lelaki dengan tato, JEMBATAN AMPERA !Apa maksudnya ?

Sembari tersenyum, saya memotretnya. (Saya yakin, Andapun tertawa). kalau tatonya kepala ular, tengkorak atau apapun yang berbau sangar, mungkin pas. Tapi ini tatonya landmark kota gitu loh. Begitu susah mendapatkan angel yang saya inginkan. Akan lebih menarik jika lelaki itu berdiri menghadap jembatan ampera, hingga saya bisa mengabadikan keduanya. Nun jauh di perkampungan kumuh nelayan Tujuh Ulu, serasa saya menemukan mutiara 'nasionalisme' pada sebuah negeri. Begitu harunya saya pada lelaki itu, yang sedemikian bangga pada salah satu sudut negeri ini. Hingga merelakan kulitnya ditusuk jejarum warna.

So, Selamat 17 Agustus 2008. Semoga penghuni Taman Makam Pahlawan Kalibata, dan seantero Indonesia masih bisa tersenyum di kediamannya. Mereka tak sia-sia.

Senin, 04 Agustus 2008

Merenung di Halimun



Aroma pakis, lumut yang bercampur dengan tanah basah khas hutan tropis adalah aroma yang selalu kurindu. Aroma itu telah menentukan sebagian hidupku. Menempa sebuah kegigihan untuk mencapai sesuatu. Merenungkan tentang tapak - tapak yang telah lewat. Ada tawa, cita dan cinta.

Ketika kembali ke hutan, serasa kembali ke yang Maha Hidup. Tenggelam dalam keperkasaan rimba menjadikanku malu, kenapa harus takabur ? Ketika menekuri helai demi helai dedauanan yang menghadirkan beragam bentuk, betapa malunya aku ketika harus menginjak teman demi sebuah persaingan. Bukankah masih ada helaian daun lain yang bisa kau singgahi ?Ketika menekuri remah - remah semak runtuh dan terurai di lantai hutan, kembali kemerasa rendah dan menyatu dengan tanah. Menyatu pada Yang Asal.

Cikaniki - Citalahap
Agustus 2008