Selasa, 06 Januari 2009

Energi dari Diary


Ini foto saya dan Joussy waktu ke Aceh sendirian, tahun 1997 (jd saya semester 3)Foto ini diambil di pinggir danau Singkarak, tapi entah apa yang ada di benak saya waktu melakukannya, kok ya terus dicropping gitu.

Buku Diary...
Barusan saya buka web mapala tempat yang menentukan sebagian hidup saya (www.kompos.web.id),ada kakak (salam ya buat 2054 mdpl) yang menulis ttg buku agenda. Ya, kala itu betapa berartinya buku agenda bagi kami. Agenda (atau bisa disebut diary)sudah menjadi bagian dari anggota tubuh kami. Dia selalui menyertai kala malam - malam dingin begadang rapat yang begitu alot, menampung kekesalan dalam bentuk coretan makian, menuliskan semangat untuk memotivasi diri hingga menjadi teman kala kita keserang gila/cinta (beda tipis).

Saya mulai menulis diary saat SD kelas 4, kala itu saya suka (atau jatuh cinta kali ya) dengan kakak tingkat saya. Untuk membeli buku diary seperti dalam majalah kan mahal. Saya ingat, saya beli buku tebal yang sampulnya batik (semua pasti tau buku macam apa itu, yg kerap dipakai tukang kredit atau buku kasbon). Lalu depannya saya gambari pakai spidol merah. Gambar mawar merah lengkap dengan duri - durinya huahaha(ketahuan betapa noraknya saya kala itu..sampai kini kali). Di dalamnya saya tulis data diri, dan..saya ingat..saya tulis cita - cita saya dengan huruf besar besar : Saya ingin jadi DOKTER (cita - cita pada umumnya). Di dalamnya ampun..kalimatnya puitis, romantis abis....tak dinyana, kalau baca sekarang takjub sekaligus mual dan ngakak. Tapi lumayan rinci, isinya pertemuan saya dengannya mulai dari hal kecil : dia senyum, dia lewat di depan rumah saya, atau saya yang lewat depan rumahnya (kalau disuruh belanja ibu, pasti saya lewat..padahal jelas rute warung sama rumahnya bertolak belakang)sampai akhirnya..saya kok lupa ya, endingnya bagaimana.

Dari SD itu, saya terus menulis diary...tapi kemudian saya tak hanya menulis dear Diary...diary itu jadi punya nama, namanya Joussy. Ah..si Joussy itu tokoh yang pada bayangan saya waktu itu hermaprodit, bisa laki bisa cewek tergantung kebutuhan (heheh). Selain diary, Si Joussy itu menjelma jadi boneka panda warna abu - abu yang lusuhnya ampun - ampunan. Saya beli waktu pertama kali kost di Solo, beli di pasar malam. Nasib Joussy itu jadi punya seribu laki - laki...setiap kali ada teman yang main ke kos, baik cowok atau cewek selalu memakainya buat bantal. bahkan ada yang menorehkan tanda tangan. Sampai lulus, Joussy selalu menemani saya. Sempat sudah dibuang ibu saya di tempat sampah, lalu saya ambil lagi (Ini seperti bola yang lama - lama jadi gondrong yang nemeni Tom Hank dalam Cast Away).Tapi jangan salah, Joussy tak hanya menemani saya di kamar, jalan2pun ikut. Jousy saya ajak naik Puncak Lawu hingga perjalanan sendiri saya ke Banda Aceh. hebat kan ?

Joussy yang tak berwujud lama - lama tak saya sapa ketika saya sudah menikah. Entahlah, semoga karena sudah menemukan teman yang kasaad mata sehingga si Joussy memilih pergi. Tapi kadang..saya kangen dengannya. Dia adalah makhluk ajaib yang memberi sayap pada mimpi dan imaginasi hingga terbang dan bertengger pada realisasinya. Ya..karena Joussy, saya berlatih menulis yang akhirnya menjadi kehidupan saya kini.

Beberapa diary masih ada yang terselamatkan, bahkan sobekan - sobekan kertas (saya dulu punya laci di kost, di depannya saya labeli : the letter never send. Kebayang, ada banyak surat di saya selama 5 tahun saya sekolah)termasuk kertas lembaran soal ujian yang saya tulisan besar - besar :DUCK, NOMOR 5 JAWABANNYA APA ???(Doekie,itu sahabat saya yang NIM didepan saya waktu kuliah H 0196060 itu NIM saya, nah si doeki pastilah 59. Terkadang saya masih membukanya.

Di sana saya menemukan : betapa pengkhayalnya saya, konyol, jahil, terpuruk, ga masuk akal, norak, dll. Tapi semua itu selalu membuat saya tersenyum, senyum yang memberikan energi...

Untuk Sausan : Sayang, semoga kamu baik - baik saya. Maaf, Ibu lengah hingga terpaksa ada dua jahitan di kepalamu. Really..I love you, more than you know...

2 komentar:

FAJAR S PRAMONO mengatakan...

Uppfh! Inget perjalanan kamu ke Aceh, inget bagaimana aku dan Mas Immawan musti "turun gunung" jadi "aktivis kampus" lagi... hehe.

Lebih tepatnya : rakyat jelata yang merasa "sok aktivis" lagi, demi melihat ketidakpedulian kampus terhadap prestasi anak didiknya!

Masih inget memory itu? Ada nggak, di diary kamu, Tik? :)

nasrudin ansori mengatakan...

saya gak penah punya diary.
blog ni aja yg d curahan saya kalo mau nulis setelah berhenti jd wartawan.