Selasa, 10 Februari 2009

Fragmen di bis terakhir


Malam telah larut, saya duduk di Bus Mayasari Bhakti terakhir untuk hari ini. Baru saja saya duduk, seorang laki - laki naik lengkap dengan tas kulit yang tiba- tiba menampar muka saya. Dia tahu, tapi tak minta maaf. Ya mungkin dia beranggapan, untuk mengatakan maaf itu harus mengeluarkan ribuan dolar. Saya mencoba mengerti di era krisis macam ini.

Sementara lelaki muda di samping saya menyumbangkan tawa untuk menyaksikan kejadian tadi. Saya bernapas dalam - dalam menahan jengkel. Tetapi saya mencoba mengerti lagi, bahwa mungkin baginya, melihat orang lain menderita adalah keindahan tiada tara. Itu sifat dasar manusia yang kerap tak diakui tetapi ditunjukkan nyata. Oleh karena itu, saya mohon maaf saja ketika si lelaki penyumbang tawa itu membuka percakapan untuk perkenalan dan mulai tak jelas ala ABG, saya bilang : maaf Mas, saya menerima telepon dulu ya, dari anak saya.Lalu dia diam hingga nanti saya turun dari bis.

Di seberang saya duduk, seorang ibu dengan tiga anak. Yang paling kecil usia sekitar 1,5 tahun sedang nenen dan sembari terlelap. Seorang lagi laki - laki, usia sekitar 3 tahun. Yang paling besar 4 tahuan. Dari kemiripin wajah dan matanya, dugaan kuat saya mereka memang bersaudara dan miri dengan ibunya. Ibunya itu...berpakaian daster ala kadarnya (dari style busananya pastilah akan segera diamanankan ketika masuk Grand Indonesia atau Senayan City), rambut cepak dan sibuk melawan kantuk sembari tetap mempertahankan si anak nenen dalam gendongannya.

Duh..kebayang, bagaimana keseharian ibu itu. Jangan dibayangkan akan menjadi ibu yang lembut sebagaimana dalam iklan susu. Sesekali saya melihat sang ibu membentak anaknya yang bertingkah mulai dari menumpahkan makanan sampai membenturkan kepala ke dinding kaca bis. Percayalah, bentakan itu tak berarti benci. Kasihnya takkan terbeli dengan jutaan dolar yang telah dikorupsi sekalipun.Hanya saja, bahasa yang diungkapkan tak bisa selembut public relation.Energinya terkuras untuk memenuhi kebutuhan pokok : memastikan ketiga krucil itu tak kelaparan, tak basah ompol maupun tidak memegang benda tajam yang melukai dirinya.

(tiba - tiba saya teringat tempo hari menarik rambut si keriting hingga ia meringis. Bagaimana paniknya saya ketika tiba - tiba dia sudah masuk selokan sementara kepalanya baru saja dijahit).

Catatan untuk Sausan :
Ketika ibu sampai rumah, posisi tidurmu seperti dalam foto itu sementara ayahmu lagi sibuk mencoba bor yang baru saja dibeli. Hemmm

2 komentar:

si anis mengatakan...

loh tik, sausan kenapa? kok dijahit jidatnya? gara2 masuk selokan ato cerita lain nih...Btw, serem ya pulang malem2 tik. ati ati...tp ya mo gimana lagi ya, ndungo wae

si anis mengatakan...

sausan kenapa tik kok dijahit segala? yg masuk selokan dia jg? aduhh..mesake