Selasa, 09 September 2008

Tatkala Mbok Sri Bertemu Super Toy


"Kanggo Mbok Sri, iki sekul pethak gondo arum, pisang ayu, jongkong inthil.Kanggo Ki Dadung Awuk, saiki Mbok Sri wis ngancik dewasa, keparenga takboyong.."
(Untuk Mbok Sri, ini nasi putih nan wangi, pisang mulus, jongkong inthil (makanan tradisonal dari ketan). Untuk Ki Dadung Awuk, sekarang Mbok Sri sudah dewasa, ijinkan saya bawa pulang..)

Dengan kemenyan mengepul, mata terpejam dengan khusuk, seorang nenek tertatih menyusuri pematang sawah. Urat rentanya seakan mendapat energi lebih dari padi keemasan yang sebentar lagi dituai.

Barangkali Anda yang tinggal di kota tak mengenal adegan di atas, upacara wiwit yang dilakukan sebelum panen. Dulu waktu saya kecil, saya begitu semangat membantu (tepatnya ngrecokin) nenek saya (RIP)dengan upacara wiwit. Saya senang sekali waktu itu karena bisa makan nasi dibungkus daun pisang di tengah sawah, tanpa cuci tangan, bersama teman2 di desa yang 'klumut' (lusuh). Keharuman nasi itu masih teringat hingga sekarang..

Masyarakat Jawa Tengah, termasuk nenek saya sangat menghormati Mbok Sri (Dewi Sri) sang dewi padi. Mereka memperlakukan malai badi laksana rambut sang dewi sehingga disediakan cermin, sisir dan minyk rambut. Tak hanya sebatas 'kesintingan' yang tak masuk akal, tetapi kesabaran menunggu hasil panen. Padi jaman dulu (sebelum dikenalkan dengan IR)panennya hanya dua kali setahun. Oleh karena itu beras adalah barang mewah. Namun bukan berarti mereka lapar. Ada singkong dan jagung (yang juga varietas tradisional) yang bisa dimakan. Kala itu, mereka tak merasa miskin karena hanya makan singkong.

Lalu padi menjadi makanan yang wajib dikonsumsi. Makan singkong identik dengan kampungan (baca : terbelakang) dengan sebutan Anak Singkong. Makan jagung disebut sebagai kekurangan makan. Lalu Mbok Sri-pun 'dipaksa' secepatnya untuk segera dewasa. Mbok Sri yang cepat dewasa itu akan menghasilkan banyak beras dalam waktu singkat. Harusnya masyarakat tak lagi lapar.

Namun sayang, Mbok Sri jual mahal,tak lagi kenal dengan nenek saya dan juga orang2 dusun lainnya. Ia pindah ke menara gading. Tak semua bisa mengakses beras. Ketika singkong dan jagung dianggap makanan rendahan, masyarakat justru makan nasi aking. Saya kira itu dulu hanya dimakan oleh bebek. Padahal bebek kalau tidak digembala di sawah, akan mandul ga keluar telur kalau hanya makan nasi aking.

Di tengah kelaparan itu,banyak pihak mengajari masyarakat untuk mimpi dan budaya instan. Indikasinya, sinetron lampu ajaib dengan jin yang bisa mewujudkan segala keinginan laris manis. Ikut bisnis mudah hasilnya jutaan rupiah. Segalanya mau cepat, siap saji, tak perlu susah.

Begitulah Super Toy menjadi mudah diterima. Karena padi Super Toy mewakili sesuatu yang cepat dan siap saji. Masyarakat sudah terlanjur hidup dalam mimpi. Pemerintah tak mengajari untuk hidup nyata dan lebih cerdas.

Jika Nenek saya masih ada, saya yakin dia akan selalu setia untuk permisi dulu dengan upacara wiwit ketika akan memboyong Mbok Sri ke rumahnya. Mbok Sri pun tersenyum, dan takkan menjauh dari nenek saya, para petani itu...

2 komentar:

mencobahidup mengatakan...

Saking pesimisnya saya terhadap manager negeri ini(pemerintah), saya punya keinginan dalam hati mari kita cuekan saja manajer. Yang penting sesama rakyat jangan saling menyakiti dan harus saling peduli, jangan melupakan satu bangsa satu tanah air satu nasib satu penderitaan

Anonim mengatakan...

tik..saya suka sekali baca tulisanmu yang ini. tapi sekedar usul, piye kalau warna blog-mu diganti jangan hitam. keren sih hitamnya, tapi bikin mata cepet lelah karena kontras dengan tulisan yang kecil,,,

terus maju ya tik...