Kamis, 03 April 2008

Sebuah Kebaikan Kecil



Barusan saya membaca Lentera di Majalah Intisari bulan April. Judulnya 'Kebaikan Kecil'. Ceritanya tentang sepasang kekasih yang sedang malam mingguan, lalu melihat teman perempuannya yang dijuluki si katrok gara-gara dandanannya ancur, nekad hujan - hujan. Ia mendapat SMS ayahnya meninggal. Jelas si cewek amburadul itu menjadi tontonan. Lantas sepasang kekasih itu menyelamatkan dengan mempersilakan si cewek naik taksi dan mengantar hingga rumah.

Berselang waktu kemudian, si cewek katrok itu menjadi orang sukses dan cantik. Lantas mengundang sepasang kekasih (yang akhirnya menikah) untuk menghadiri pembukaan salah satu cabang perusahaan. Mereka diminta maju ke atas panggung, diperlakukan istimewa di hadapan para tamu si cewek yang dulu amburadul, kini menjadi general manager perusahaan terkenal.Ia menceritakan 'kebaikan kecil' sahabatnya di hadapan para tamunya. Tentu saja suami istri yang hanya orang biasa itu terharu.

Saya haru membaca tulisan tersebut. Entahlah, itu mungkin semacam cermin dari masa lalu. Dulu penampilan saya mungkin sehancur cewek itu. Rambut yang panjang tak terawat, baju yang seadanya. Bahkan ke kampus tak jarang saya memakai kemeja ayah saya (ini bener..) karena memang tidak ada budget untuk sekedar membeli baju. Apalagi ber-make up seperti teman-teman saya. Untuk bisa bertahan kuliah saja sudah bersyukur. Saking amburadulnya saya, barangkali para lelaki itu lupa kalau saya perempuan. Dari cara memperlakukan hingga olok - olok mereka. Tetapi semua itu saya anggap lelucon (walau kadang menyakitkan). Untung saya masih punya teman - teman di Mapala yang mau menerima saya apa adanya. Kebersamaan kami menjadikan sekretariat yang super berantakan (dulu) dan penuh nyamuk karean ada di tengah hutan kampus, sebagai home sweet home bagiku.

Waktu berselang, saya sudah punya rejeki sendiri dan tinggal di Jakarta. Alhamdulillah untuk membeli baju ketika ingin, sudah ada uang. Saya menikah dan dianugerahi putri terlucu untuk kami.

Suatu siang, teman kuliah saya menelepon. Ia dulu pacarnya teman kos saya yang cantik . Setelah ngobrol lama, akhirnya tercetus kata begini :
"Sekarang kamu kayak apa ? Apa rambutmu masih pecah - pecah kayak dulu ?" Barangkali kalimat itu bercanda. Tetapi saya baru tahu, itulah yang terekam di benaknya. penilaian fisik yang seperti umumnya lelaki punyai terhadap perempuan. Sah saja, itu alami. Hanya saja, apakah tidak ada pertanyaan lain yang lebih bersahabat dibanding itu ?

Terus terang, saya agak kaget dengan pertanyaan itu. Dalam hati saya mengatakan, toh dulu kamu juga tidak masuk dalam daftar lelaki idola versiku. Kalau mau mengingat penampilan fisik yang sungguh saya tak menyukai juga. Tapi bukan itu yang saya ingat dari seorang sahabat dan layak ditanyakan di kemudian hari.

Ketika saya mau 'membalas' tapi ternyata kenyataan dia sudah cukup pahit. Dia batal menikah dengan teman kos saya di detik terakhir pacaran, padahal undangan sudah disebar. Gara-garanya si teman saya tertarik dengan cowok lain. Memang tidak masuk akal, tetapi mungkin itu peringatan baginya, semoga bisa menilai sesuatu dengan lebih bijak.

Saya hanya mengingatkna pada diri saya, siapakah saya sehingga berhak menilai orang dari penampilan fisiknya ? Siapakah saya sehingga bisa merendahkan orang lain ?

Catatan dari Sausan : Ayah, kemarin Sausan jalan2 sama ibu ke kebun raya cibodan dan taman bunga cipanas. Seru deh...tapi pas di cipanas di tempat yang banyak bunga, sausan tertidur. Waduh...

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Yah, itulah penilaian orang terhadap diri kita. Orang bebas membuat komentar. Apa saja. Kita berbuat sesuatu orang akan berkomentar bahkan kita diam-pun orang akan berkomentar. Tapi kita menjadi sesuatu toh bukan hasil komentar orang.
Aku yakin kebaikanmu, ketulusanmu, dan seluruh bakat2mu yang telah menajadikanmu tidak seperti dulu.
Cay2