Senin, 19 Mei 2008

Bogor Style, hah ?!


Jumat yang cerah, di seputaran Ciawi.
Saya heran, kenapa minggu ini diliputi urusan dengan palak memalak para stakeholder angkutan. Baru Senin lalu, saya berurusan dengan becak di Palembang, kini saya berurusan dengan tukang ojek di Sukamanah, sekitar 30 km dari perempatan Ciawi.Walaupun secara geografis beda dengan Palembang, tapi secara esensi sama.

Berawal ketika saya sampai Pasar Cibedug, mau menuju ke Kebun Bunga Pak Benny (tempat yang selalu aku suka karena hamparan bunganya serasa di Eropa). Saya naik ojek setelah tawar menawar dengan jelas (saya enggak mau ketipu lagi). Disepakati harga Rp 4.000,- (empat ribu rupiah). Jalur yang harusnya ditempuh 10 - 15 menit, muter - muter enggak jelas,saya diberhentikan di villa dengan pagar tinggi dan bersemak belukar.
"Ini kan tempatnya ?"
"Tempat apaan ? Saya mau ke Kebun Politani, Kebun Bunga Pak Benny...bukannya tadi bapak bilang tahu ?"
"Loh...kan ini, yang saya tahu ini "
"ini kan bukan kebun bunga pak benny, ini villa dengan bunga liar. Saya enggak mau cari kamar, Pak. Tapi mau cari berita ?"
"Dari tadi yang jelas dong,Mbak...kalau ke Politani mahal, jauh."
"Ya jauh dari sini. Bapak sudah muter - muter enggak jelas."
"Bukannya gitu, mbak..jalan biasa rusak. Kalau ke Politani mah 35 ribu"
"maksud bapak apa ?" Perselisihan kembali alot.

NO WAY ! Saya enggak mau ketimpuk dua kali dalam seminggu. Kali ini saya tahu betul wilayah ini, saya enggak dikejar dedline..jadi saya bisa mikir jernih.
"Begini aja deh, Pak...kalau Bapak ngotot saya harus bayar 35 ribu untuk sampai kebun politani, dan saya enggak yakin Bapak bisa sampai sana. Balikin saja saya ke tempat semula. Jadi anggap aja bapak enggak pernah ngojekin saya." Dilihat dari wajahnya, Bapak itu mengisyaratkan 'Coba saja kalau berani, dijamin ga ada ojek lagi' Saya pun tersenyum simpul.Bodo' ga da ojek ya telepon nara sumber, minta dijemput.

Sesampai di pasar cibedug, Bapak itu senyum penuh kemenangan. Lalu berulangkali nawarin lagi untuk dianter. Sorry..borry morry...saya malas berurusan denganmu lagi!
Tak berapa lama, ada yang lewat. Tukang ojek junior. Masih kecil dan terlihat belum ahli naik motor. Demi menjadga gengsi, saya pun say goodbye dengan ojek senior tadi. Lihatlah, siapa yang menang ?

Tapi resiko dari jaga gengsi pun tidak mudah. Ternyata ojek yunior memang serem, apalagi jalannya sempit, nanjak dan berkelok. Wah, kalau sampai kejeblos di jurang pinggir jalan...benar - benar bukan cerita menarik. Akhirnya saya ajukan solusi..
"Dek...biar saya saja yang di depan" Begitulah, tidak jelas, siapa tukang ojek siapa penumpangnya. Jalan menanjak bukan masalah bagi saya mengingat dulu pernah kejar kejaran dengan polisi di sepanjang Slamet Riyadi Solo hingga akhirnya polisi berkomentar " Kuliah di pertanian ? Kenapa tidak jadi pembalab saja" hahahaha

Di akhir cerita, saya tidak jadi kehilangan Rp 35.000,-...tapi malah si ojek junior enggak mau dibayar. ya karena kasihan, saya ajak makan cilok (semacam siomay) karena saya kelaparan setelah 'berdiskusi' dengan si tukang ojek senior.

Hahaha..this is Sukamanah Style...

Catatan buat Sausan : Sayang, Indonesia tak seramah dalam cerita. Kemanusiaan begitu mahal harganya. Koruptor tak hanya didominasi oleh pejabat, tetapi siapapun bisa melakukan. Kalau mengingat ini, Ibu menjadi menyesal..kenapa dulu harus merelakan tidur di bawah air mancur Gedung MPR DPR demi menyampaikan tuntutan rakyat. Rakyat yang mana ? (seorang kawan ibu pernah mengatakan, kalau orang kecil korupsi untuk makan. Jadi lebih bisa dimaafkan. Benarkah ?)

Tidak ada komentar: