Senin, 12 Mei 2008

THIS IS SOUTH SUMATERA STYLE, NDUK..







Itu yang dikatakan Bang Iwan (Sutan Iwan Soekri Munaf), penyair yang tanpa sengaja saya temui di Palembang. Mungkin ini cara Allah mempermudah liputan saya, hingga Bang Iwan dikirim-Nya untuk menemani saya ke pelosok Muara Enim. Kalau dilihat dari plang hijau penunjuk arah, Palembang - Muara Enim sejauh 186 km. Tapi karena saya masuk ke pelosok2, speedometer mobil menunjukkan angka 380 km PP. Dari jam 9 pagi sampai jam 10 mlm.

Bagi saya, meliput suatu daerah, bertemu dengan orang - orang di pedesaan selalu memberikan pelajaran hidup tersendiri. Kali ini saya bertemu dengan petani nanas palembang (yang sebenarnya nanas Prabumulih), Bpk Narman dan keluarganya. Perlu ada catat, untuk sebuah nanas yang dari Pak Narman dijual Rp 1400, dibutuhkan waktu 18 bulan menunggu buah nanas masak di pucuk pohon. Selama itu, Pak Narman harus menjaga nanas - nanas itu dari serangan babi hutan. Alhasil, ketika nanas mulai berbuah, Pak Narman menjaga di malam hari. Menjaga di pos hansip komplek rumah itu saja sudah cukup menjengkelkan, Pak Narman ini harus berdiam diri di gubuk panggung yang dibangun di tengah kebun nanas, 2 km dari perkampungan. Berdiam diri,hanya ditemani nyamuk..tak tanggung - tanggung, karena Muara Enim daerah rawa, nyamuknyapun berlabel malaria.

Dengan upaya kerasnya, Pak Narman bisa menghidupi anak - anaknya. Salah satunya Minah yang mengantar saya dan Bang Iwan ke kebon. Minah ini gadis usia 14 tahun, kelas 3 SMP yang ramah dan malu - malu. Dia yang menjadi penerjemah wawancara saya dengan ayahnya. Melihat antusias Minah, saya ingat masa kecil saya seusianya. Pas saya tanya, Minah kamu suka baca ? "Suka..suka banget'. Novel apa yang kamu baca ? "Buku Pelajaran Bahasa Indonesia'. Oh...
Liputan itu sampai malam,Bang Iwan mengantar saya ke sentra duku Palembang (yang sebenarnya duku Muara Lawai, ini masuk Prabumulih). Selesai liputan jam 5 sore. Saya berniat mencari travel karena saya rasa Bang Iwan sudah lelah nyetir plus masuk - masuk kebon nanas.

"Heh...this is South Sumatra, Nduk. Bukan Kebon Jeruk. Sudah, saya antar kamu sampai Palembang. Mana bisa aku melepasmu." Awalnya, saya hanya menganggap perkataan itu hanya bentuk perhatian bagi seorang kawan yang datang dari jauh. Hari ini, saya merasakan what kind of South Sumatera Style.

Sehabis wawancara dengan walikota Palembang (yang telah 3 hari bikin janji selalu gagal), saya naik becak mau mencari internet. Si tukang becak sebut saja namanya Mr.Borokotok bilang tigo setengah karena warnet dekat. Naiklah saya dengan gembira. Kayuh demi kayuh, kok saya masuk pasar kumuh (yang saya yakin warnet takkan cocok dibangun di sini), perumahan padat (yang saya yakin juga, tidak ada potensi bikin warnet) dan entah apalagi.

Saya mulai curiga, dan akhirnya saya minta berhenti di tengah jalan. Begitu saya kasih 7000 (dua kali tigo setengah) Mr. Borokotok. minta tujuh puluh limo ribu. Ternyta tigo setengah itu kamuflase untuk 'memeras; sebagai 35 ribu. Mangkel, dongkol, panik diburu deadline, pertengkaran panjangpun berlangsung. Sampai ada bapak - bapak (yang ternyata polisi) mendekati kami. Beliau mau bayar ongkos kalau kurang. Tapi saya gengsi (ini nih sok), makanya saya bilang ke bapak itu kalau everything is oke. But I'm wrong. Saya bayar 35 ribu. ini karena Mr. Borokotok dari awalnya mencak - mencak mengaku bekas napi (I dont care, semakin jengkel saya. Kalo bekas napi, tulis aja di otobiografi lu!Nah, yang bikin saya jatuh Mr. Borokotok Van Napi ngaku menghidupi anak istri bla..bla..bla. ini membuat tiba-tiba saya ingat Sausan, anak saya yang keriting, lucu dan imut di rumah sendirian. Ikhlaslah saya kasih 35 ribu walau ia masuk memelas minta terus.Doa saya, ya Allah, kalau Kau pengin menciptakan lagi makhluk, jangan lagi yang seperti Mr. Borokotok ini.

Begitu Mr. Borokotok Van Napi pergi, saya duduk di pinggir jalan, lunglai dan mendadak lapar. Bener - bener kelaparan karena ternyata saya makan pagi di hotel hanya sebiji model (istilah lain untuk empek - epmepk yang menjadi menu selama 3 hari ini). Datang tukang becak yang baik hati mengatakan, 75 ribu itu pemerasan.Harusnya tadi adik panggil kami. Bbbrhhhh...bagaimana saya bisa percaya, sesama tukang becak ?
"Wah kalau dari Pak Wali, kenapa adik ga tanyo tanyo. Adik kan wartawan (press card masih melilit di pinggang saya) bla..bla.

Iya ya..kenapa wartawan kok tidak nanyo - nanyo? Sebuah pelajaran hidup bagi saya di kota ini, wartawan itu harus tenang dan menerapkan 5 W 1 H
What...75 ribu WHAAATTTT?
Where..dari Kantor Walikota - dekat Hotel duta itu cuman 10 ribu maksimal
Why...sompret, nape lu meres orang dompet tipis, cewek, kecil lagi
When...saat orang lagi berlomba dengan detak waktu deadline, tega teganyo
Who...Mr Borokotok bekas napi ? Di Jakarta malah bekas mayat (katanya rumah kebakaran dan dia ikut kebakar, tapi kok idup lagi)
How...modus kejahatan lu memanfaatkan logal lokal Palembang bakal dikutuk sama Raja sriwijaya, jadi pelengkap candi Borobudiur, sungguh,

Ya, South Sumatera Style...different with Kebon Jeruk Style.

Catatab buat Sausan : Sayang, kamu baik - baik saja ya. Maaf Ibu belum pulang hari ini karena pesawat belum ada. Kamu hati - hati ya, I miss u much...Ayah, Ibu berdiri di jembatan Ampera, nanti fotonya disandingkan di Jam Gadang yah...tapi sayang, ga da ayah di sana :)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Woi... Ini Palembang Tik, bukan Solo, Klaten , atau Rowo Jombor. Karakternya memang keras (baca: tidak bersahabat)tapi tidak semua orang Sumatera seperti itu. Perlu orang lokal buat mendampingi kalau ga mau dihabisi. Kapan ada liputan ke Lampung? Boleh tuh aku jadi guidenya (kalau ada waktu).
(Cay2)

Titik Kartitiani mengatakan...

Hoe Mas Che (yang bukan Guevara), I FIND U,I Miss U and karamel lezat di lereng Lawu,..seneng rasanya ketemu masku tercinta ini.Beliau adalah senior saya di Himaklakep(Himpunan Mahasiswa Klaten sing Cakep hehehe).Ya saya punya feeling datang lg ke sumatera, entah kapan.kalo sampe lampung, bikinin saya dadar gulung ya..walaupun tidak dimakan dekat doome Jobolarangan,bikinanmu pasti enak.