Kamis, 24 Januari 2008

18 Januari 2008



Pagi kala kabut masih menyelimuti, 18 Januari 2008...
Tanggal 18 Januari merupakan hari istimewa bagiku karena setiap tanggal ini selalu mengingatkan akan bertambahnya usia. Kali ini menjadi lebih istimewa karena pergantian dari kepala dua menjadi kepala tiga..hah ?! 30 tahun ! Gile...perasaan baru kemarin saya SMA. Kalau melihat orang tua saya dulu, 30 tahun kesannya tua banget...pas mengalami, kok ya belum merasa tua (dan memang harus begitu hehehe).

Terima kasih ya Allah, atas waktu yang telah Engkau berikan hingga hari ini. Semoga waktu yang Kau berikan tidak sia - sia...

Kadonya ? Hah..apa itu harus ? Saya sudah terbiasa untuk tidak berharap pada orang lain. Saya hanya memejamkan mata, bernafas sedalam - dalamnya, merasakan bahwa saya benar - benar masih diberi nafas hingga tambah usia saya, lalu menghembuskannya dengan harapan...semoga esok lebih baik. Itu saja.

Saya selalu mengingat apa saja yang terjadi di hari itu setiap tahunnya. Ibarat puzzle, 18 januari setiap tahunnya selalu menghadapi hal yang berbeda, warna yang berbeda. Kalau saya membaca catatan saya di setiap tanggal 18 januari, di sana tergambar 'pertumbuhan' saya. Jika tahun lalu ada tumpeng mungil dan tiup lilin dengan suami saya plus Sausan yang masih meringkuk di perut, kini saya hanya sendirian.

Lebih sendirian lagi ketika...
Pagi itu tetangga saya mengetuk pintu pagar saya. Seperti biasa, tentangga satu ini kalau mengetuk pintu pagar, itu artinya meminjam cangkul. Dari sekian tetangga yang berpotensi punya cangkul, dia lebih memilih cangkul saya. Bener saja, hanya kali ini alasannya beda. Bukan untuk menggali selokan, mencabut rumput dll.
"Untuk ngubur kucing teh..ada kucing mati kena racun tikus," katanya dengan logat sunda yang kental. Tiba - tiba perasaan saya jadi tidak enak.
"Kucingnya warnanya apa, Bu ?" tanya saya paranoid.
"Item sih," katanya chuek sembari menerima cangkul saya sembari berlalu
"Ada putihnya tidak ?" teriak saya panik.
"Ada sih," jawabnya sambil lalu. Bener ! Pagi ini, 18 Januari, Lemot tidak ada di depan pintu seperti biasanya. Tiba - tiba lutut saya lemas. Saya tidak berani mendekat. Dari jauh saya liat ada tubuh yang ditenteng dalam tas plastik putih. Saya yakin, itu Lemot...

Lengkap sudah kesendirian saya. Hanya kecoak, kipas angin dan air kran yang bergerak di rumah ini. Satu -satunya teman yang menemani, pergi karena kelalaian saya. Karena malam terakhir itu, saya masih ingat memegang tengkuknya untuk saya letakkan di luar karena teman saya yang kebetulan datang tak suka kucing.

Ketika saya cerita ke ibu saya, ibu saya malah tertawa. "Kan hanya kucing saja !" Memang hanya kucing, tapi kalau kucing itu teman satu - satunya, tidak lagi menjadi 'hanya'. Setiap kali saya pulang, ketika kucni pagar saya buka, saya selalu berharap ada yang nyelonong di kaki saya seperti biasanya. Tapi hal itu tak pernah terjadi lagi...Mr. Lemot, thanks telah menemani saya selama ini...

Catatan untuk Sausan : Sayang, apa kabarmu ? Gigimu sudah kelihatan belum ? Udah Bisa gigit apa ? Kau ingat Mr. Lemot ? Saat kamu umur 7,5 bulan di kandungan, Ayah dan Ibu ambil Mr. Lemot di warung kelapa hijau. Waktu itu susah banget membawanya, akhirnya diletakkan di kardus dan ibu pangku. Ketika kamu gera, Mr. Lemot meronta- ronta. Ibu ingat, sering kali kamu, Ayah dan Mr. Lemot berkolaborasi tidur di kamar biru. Ukuranmu sama Mr. Lemot hampir sama.Sekarang ketika kamu sudah merangkak, kamu suka nari-narik ekornya. Tentu saja Mr. Lemot pasrah. Sepasrah ketika racun tikus membunuhnya....Miss u, little sunset..

Tidak ada komentar: