Selasa, 08 Januari 2008

PEMBOKAT CS PETUGAS BERSERAGAM

Pembantu oh pembantu...itu keluh saya di awal tahun 2008. Seiring dengan gemerlap kembang api yang mengiringi pergantian tahun, pembantu saya pulang dan tidak kembali lagi. perlu diketahui, sebelum dia tidak kembali, saya tidak pernah memanggil dan menganggap dia sebagai pembantu. Saya anggap dia sebagai adik saya. Oleh karena itu, dalam hal makan dan apapun, saya tidak pernah membeda-bedakan. Bahkan kalau meminta tolong untuk mengerjakan sesuatu, saya tidak setiap saat. Kalau dia sedang nonton sinetron kesayangannya, saya tidak pernah mengganggu. Walaupun itu terjadi dari senja hingga laut malam. Untung saya tidak begitu suka nonton tv, ya terserah.

Namun, kelonggaran yang saya berikan agaknya dimaknai lain. Si 'partner' ini semakin berani. Awalnya ia suka minta ijin ke rumah sodaranya saat saya libur dan belum kembali saat saya masuk kerja. Al hasil saya dirundung cuti yang tidak masuk akal. Aksi berlanjut menitip alat make up (yang sayapun tak pernah menggunakan), memakai barang-barang saya (ini mulai masuk ke privasi) hingga dimintai tolongpun bisa membantah. Masak menguras kamar mandi juga harus saya ? Pada suatu saat, menjadi sulit untuk membedakan siapa yang membayar siapa. Saya mencoba bersabar, yang penting anak saya bisa diasuh dengan baik.

Hingga puncaknya, ketika si 'partner' ini berlibur akhir tahun (sementara saya tidak ikut libur) dan puncaknya tidak kembali lagi. Menelponnya pun saat saya sudah akan masuk kerja, 1 januari 2008. yang menelepon simboknya, bahwa si partner tidak balik lagi karena mendapat perkerjaan baru. Tidak ada kata maaf atau kepedulian. Jadilah saya kalang kabut. Sekian keruwetan melembung di otak saya. Apalagi suami sedang di luar kota. Jadilah saya pontang panting sendirian. Bahkan saking puyengnya, saya sampai menjadi 'mengerti' kenapa ada pembokat yang dianiaya majikannya. Terus terang, saya juga tidak mendukung tindakan tersebut. Tetapi dengan kasus yang saya alami, saya menjadi tidak protes lagi. Mungkin ada sedikit kebiadaban terselip dalam hati saya.

Tanggal 2 januari, saya pun langsung ke stasiun Gambir untuk mencari tiket pulang ke ibu saya. Dengan menggendong anak yang baru berusia 9 bulan plus aneka pernik-pernik yang setas jinjing, perjalanan menjadi tidak mudah. Untung sepanjang jalan, anak saya tidak begitu rewel. My little sunset, you are the nicest girl in the world...

Kekecewaan itu muncul ketika saya mengantri tiket. Betapa repotnya saya dengan menjinjing tas besar dan harus menulis di kertas pemesanan lalu mengantri lagi. Saya bernisiatif menitipkan tas saya ke petugas berseragam biru di depan lokat yang amboy..gagah sekali (seperti cara Andrea Hirata mengatakan)
"Pak, tolong saya menitip tas saya. saya mau antri tiket" kata saya sembari tangan saya gemetar karena menahan beban anak saya yang lumayan berat di gendongan. dan Anda tahu jawabnya ?
"Jangan meleng, Bu...kalau ga pengin tasnya disamber orang. Jagain tuh, jangan naroh sembarangan !" Petentang petenteng sembari membenarkan letak topinya yang sudah benar. Beribu makian pengin muncrat membasahi wajah manusia itu (kukira dia masih manusia). Kok tega dia ngomong begitu ? Apakah dia tidak pernah digendong ibunya ? Apakah dia dilahirkan dari batu cadas di puncak Merapi ?

Dengan tas terseret, akhirnya saya mengantri tiket. Tangan saya semakin kesemutan karena anak saya mulai bosan. "Sabar, Sayang..kita sedang menjadi pesakitan yang punya uang ratusan ribu untuk nggaji si manusia berseragam itu dengan harga tiket yang mahalnya semau udel.."

Tidak jauh dari saya mengantri, ada dua bule yang kebingungan mengisi lembar pemesanan tiket. Tentu saja si bule takkan mengerti bahasa Indonsia. Dengan tertunduk - tunduk hormat sok ramah, si manusia berseragam itu mendekati untuk membantu dengan hormat. Kini kulihat lagi potret bangsaku, bangsa yang begitu silau melihat orang bermata biru. saya jadi berpikir, seandainya rambut saya merah dan saya pakai celana pendek, pastilah tas saya akan disangga di atas kepalanya tanpa saya minta..upsf

Dengan senyum pertanda keramahan dan begitu berwibawanya, si manusia berseragam biru itu mengatakan entah apa, saya juga tak tahu. Yang terjadi malah keributan yang berkepanjangan. Akhirnya saya tahu, si bule tak mengerti bahasa Indonesia, sementara si berseragam tak bisa bahasa Inggris. Dalam hati sayapun tertawa...oh, malang sekali nasibmu si seragam biru. Bule yang kamu sanjungpun tak pedulikan dirimu...

Samapi di sini saya hanya berkesimpulan, Tuhan begitu adilnya. Seandainya pembokat saya sedikit punya tanggung jawab, tentu dia tidak akan jadi pembokat. Seandainya saja si manusia berseragam biru tadi punya sedikit keramahan hati, tentu dia sudah menjadi jenderal. Jadi dengan kondisi yang 'jiwanya tidak lengkap, ada syaraf kemanusiaannya yang putus' memang dia tepat untuk posisi itu...(emosi heheheheh)

Catat
aan di balik layar : Sayang, ibu sangat kangen padamu. Suatu saat akan ibu katakan, sebagai orang miskin di negara yang miskin juga, ibu tak banyak pilihan. Ibu tahu, ini bukan yang terbaik tetapi inilah yang paling mungkin ibu lakukan. Ibu percaya, kau anak yang kuat..karena kau anak ibu...Ayah, baik - baik ya di sana...

Tidak ada komentar: