Jumat, 11 Januari 2008

YU HANI DAN PANGERAN KELELAWAR...

Senja dan kelelawar, suasana suram nan memesona yang selalu mengingatkan aku pada dirimu. Kala itu bulan Mei 2003 di base camp Sucen Purworejo, kita sama - sama membaca sesobek koran Kompas yang memuat cerpennya Bre Redana, 'Kembalinya Pangeran Kelelawar'. Ada kalimat yang menjadi ikon kita setiap kali bersua, entah itu nyata maupun di dunia maya. Kurang lebih kalimat itu berbunyi ' Dan akhirnya perempuan itu menikah dengan laki - laki biasa yang berdarah daging. Seorang buruh tambang di Wollongong. Kemudian perempuan itu menjalani hidupnya, memasak, mencuci ...Sesekali ia masih mengingat Pangeran Kelelawar. Hanya saja sudah tidak segalau dahulu.."

4 tahun berselang, kami bertemu di dunia maya. Ya, masing - masing dari kami-pun menikah dengan 'laki - laki berdarah daging'. Tapi kutahu, perjalananmu ecxiting. Sebagaimana umumnya perempuan desa, melewati angka umur 25 itu kegundahan keluarga bila belum menikah. Hahaha...kamupun menceritakan bagaimana kakakmu menjadi 'biro jodoh' berusaha mencarikan lelaki untukmu. Mulai dari punggawa desa dengan sawah berhektar - hektar, guru yang sudah diangkat dan jelas punya NIP (Nomor Induk Pegawai) dengan pensiun pasti hingga sodagar kaya yang punya selepan beras di mana- mana. Semua itu kau sambut dengan ngakak dan sedikit frustasi. Karena hatimu sudah tertambat pad seorang laki - laki terindah yang kau puja. yang tentu saja bagi keluargamu masuk kategori tak jelas juntrungannya.

'Dia itu indah sekali, Tik. Aku pernah dibacakan puisi-nya Sitok Srengenge, Kelenjar Betina Merah (- mungkin saya salah menjudulinya). Katanya - aku mencintai semua orang, apakah itu artinya aku harus menikahi semua orang. ha..ha..ha," katamu menirukan. Dan kitapun tergelak. Aku masih ingat, kau ucapkan suatu senja di tepi Parangtritis, lantas kita berfoto ala Charlies Angels. Di bawah foto itu kau tulis ' Mereka melihat sungai, kami melihat laut' Entah apa maksudmu.

Empat tahun berselang, akhirnya kamu menikah juga. Dengan lelaki baru yang belum pernah ada dalam perbincangan kita (ternyata waktu berlari begitu jauh yah..).Maaf saat itu aku tidak bisa datang karena bayi dalam kandungan sudah membengkak hingga 8 bulan (ini kamu, my little sunset). Aku sempat membungkus kado, namun tak sempat kukirim. Hingga kini, kado itu masih teronggok di meja...

"Yah akhirnya aku menikah dengan lelaki berdarah daging. Memang tidak mudah, Tik. Karena perkerjaan kami masih belum pasti.Ah, bagaimana kalau anakku lahir nanti. Iya, aku percaya, anak membawa rejekinay masing - masing kok. Tapi kamu tahu, aku sangat bahagia. Bisa mendobrak keinginan keluargaku. Aku bisa mempertahankan idealismeku, bisa menikah dengan laki - laki pilihanku. Hahaha..emosi'
"Eh, jangan bilang emosi...bilang saja karena idealismemu. Kalau begitu, langkahmu akan ringan..."
"Oh ya..karena idealisme.." katamu mengiyakan. Lalu kamu pamit mau sholat dan istirahat. Bayi dalam kandunganmu memintamu untuk istirahat.

Tak pernah kubayangkan..ternyata langkahmu teramat ringan seringan ruh...sangat ringan hingga kau terbang melewati dimensi tak kasad mata. Sehari berselang setelah pembicaraan kita, ada SMS yang mengatakan kalau dirimu kecelakaan dan gegar otak hingga tak sadarkan diri. Aku beusaha menelepon HPmu, dijawab oleh kakakmu kalau kamu masih kritis. Sehari kemudian, kau pergi mendahului...

Yu Hani..demikian aku suka memanggilmu. Karena namamu teramat singat, Istihani yang sering iseng kutambahkan dengan Nur'aini. Kamu hanya tersenyum kala itu. Senyum itu, kegilaan itu, mimpi - mimpi itu ...aku masih menyimpannya rapi dalam buku catatanku. Kalau catatanmu sudah berhenti, tapi kuyakin..kau masih ada untuk meneruskan catatanmu walau aku tak bisa lagi membacanya.Dan aku masih punya janji, untuk mengirimimu cerpenku yang bercerita tentang CAPRA. Satu lagi tentang Pangeran Kelalawar kita. Ketika kau tak lagi membacanya sendiri, aku akan datang membacakan di pusaramu. Yu Hani, kau takkan pernah pergi..

Dan kematian jadi akrab, seakan kawan
Berkelakar
Yang mengajak
Tertawa - itu bahasa
Semesta yang dimengerti
('Kematian semakin akrab' Subagio Sastrowardoyo yang dikutip Gunawan Mohammad)

Catatan untuk Sausan : Ibu kangen sekali, Sayang...senja di sebelah rumah kita semakin sunyi tanpa tawamu. Rumah kita terlalu luas untuk ibu tinggali sendiri. Kamar birumu masih menyisakan bantal mungil, boneka kura-kura hijau dan selimut kuning gambar kelinci. Sayang, wajah mungilmu tak menempati. Baik - baik di sana ya, ku kan kirim senja emas untukmu.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

tik..sepanjang kata yang kautulis..disitulah hatiku tergerak, berkecamuk.

Hidup yang katanya berujung memang tak pernah terhenti oleh kematian. karena dalam hidup, telah kita tinggalkan sejarah yang akan terus dihidupkan dalam sebuah persahabatan dan perkawanan...

SELAMAT JALAN HANI...Doaku bersamamu..

Anonim mengatakan...

tik..sepanjang kata yang kautulis..disitulah hatiku tergerak, berkecamuk.

Hidup yang katanya berujung memang tak pernah terhenti oleh kematian. karena dalam hidup, telah kita tinggalkan sejarah yang akan terus dihidupkan dalam sebuah persahabatan dan perkawanan...

SELAMAT JALAN HANI...Doaku bersamamu..