Rabu, 16 Juli 2008

Sore, di toko buku itu...

Toko buku itu berada di sudut komplek eksotis yang bernama TIM (Taman Ismail Marzuki). Kecil, tak sistematis, padat buku dan berdebu. Kata temen saya, toko buku itu milik Rizal Manua. Saya tidak tahu pasti. Yang jelas, setiap kali memasuki toko buku itu, saya seperti masuk pusaran waktu (kayak masuk ke jaringan Flo-nya Harry Potter).

Seperti saya berada di Social Agency di shooping center Yogyakarta (kini namanya Taman Pintar), satu dekade lalu. Selalu ada embak-embak gemuk (yang saya tak pernah menanyakan namanya), ramah dan cekatan (jemarinya lincah memencet kalkulator menghitung diskon). Dia selalu menyodorkan buku - buku yang memang selalu saya cari. Kala itu buku - buku tentang lingkungan hidup, lengkap dengan diskon terbesar yang bisa ia berikan tanpa membangkrutkan tokonya. Setelah transaksi deal, uang kumal yang menjadi energi penuhku menyetrika Malioboro beralih tangan, jemarinya memberi servis gratis lainnya : sampul plastik. Manjadikan buku itu rapi, berkilau dan glamour. Peristiwa paling megahnya, kini ada di tanganku !
Kresek kresek suara plastik dari sampul adalah irama merdu yang aku dengar. Rasanya seperti mendapat nilai A untuk ujian Rancob (semacam statistik lanjutan).Bagaimana tidak, uang itu saya kumpulkan keping demi keping dengan memotong anggaran setiap kali makan. (Tak heran bila tubuhku kecil, malnutrisi)
Entah trik dagang atau memang dia iba melihat kegigihanku mendapatkan buku, ia akan memperlihatkan buku - buku yang lain untuk saya beli bulan depannya lagi. Tentu saja dengan diskon yang amit - amit saya ajukan.Eksotisme transaksi untuk sebuah buku itu tergambar di toko buku pojok TIM.

Toko buku itu juga membawa saja mengarungi tataran waktu yang lebih berpendidikan : pelajaran bahasa Indonesia semasa SMA. Saya ingat, guru bahasa Indonesia saya namanya Pak Sigit Sugiman. Kurus, botaks, suara melengking, kumisan dan...(selalu kita gosipkan dia menyukai cowok, namanya Nurman Kurniawan - sahabatku yang ganteng (serius) dan rankingnya tepat di bawahku : 43 dari 44 siswa). Dulu saya selalu membuat beliau sibuk dengan pertanyaan yang enggak penting. Saya suka seolah bertanya serius agar beliau menjelaskan ulang. Lalu saya sibuk makan mangga mentah dan garam yang saya sembunyikan di laci meja. Seperti jamaknya murid Fisika, pelajaran B. Indonesia adalah refresing dan enggak penting. Makanya nama - nama seperti STA, Armijn Pane, Sanusi Pane, Nur Sutan Iskandar tenggelam di antara rumus bangun, fluida dan integral.
Baru kini saya sadari, bahwa orang - orang seperti Pak Sigit Sugiman, Pak Sukir (ini guru B. Indonesia saya waktu SMP, orang yang keahliannya nomor dua setelah ibu saya : dalam hal menjewer telinga)yang membuat negeri ini lebih berbudi, bermartabat dan berjati diri dan sombong dikit(tidak seperti pesan pemerintah kan ya)?. Karena beliau telah mengajarkan kami - kami, pemuda harapan bangsa yang sedikit pecicilan ini untuk mengenal dan mencintai kata dan sastra. Ranah 'omong kosong' membuat manusia menjadi utuh. Membuat bangsa menjadi bernurani.
Hanya setelah saya berada di toko buku pojok TIM itu, saya baru ingat, mengapa di buku Pelajaran Bahasa Indonsia ada nama STA, Armijn Pane, Sanusi Pane, HAMKA, N.H Dini dll. Kenapa tidak pernah ada nama Iwan Simatupang, Pramoedya, Goenawan Mohammad, bahkan Gerson Poyk pun saya tidak tahu. Di toko buku itu saya membaca nama - nama beliau.

Terakhir, toko buku itu membawa ingatan saya ke sebuah lokasi,toko buku loak di bawah pohon asem. Penjaganya adalah lelaki tua yang selalu menceritakan tentang buku yang akan dibacakan kelak jika saya sudah mengerti. Anehnya, lelaki itu justru menghilang dan membiarkan saya membaca buku yang selama ini ia jaga. Lokasi ini hanya da di cerpen saya yang belum pernah terseleseikan dan saya lupa file-nya dimana.

Tidak ada komentar: